✧ BAB 07 ✧

163 22 4
                                    

“Hei, sini dong.”

“Sayang ....”

“Cantik banget sih kamu.”

“Kezia sayang, sini.”

Kelopak mata itu terbuka dalam sekejap diiringi deru napas tak beraturan dan keringat dingin membanjiri tubuh kurusnya yang tampak rapuh. Bola mata yang tampak kosong itu menembak tepat jam dinding yang berada lurus di depan sana. Masih pukul satu dini hari, namun mimpi buruk itu lagi-lagi tak pernah membiarkan gadis itu terlelap dengan tenang. Membuat sesak kerap kali menjadi teman tidurnya.

Gadis pemilik nama lengkap Kezia Lizina Alexandra itu bangkit duduk secara perlahan sembari menatap ke sekeliling yang tampak remang. Wajahnya terlihat pucat. Tangannya gemetar hebat. Ketakutan itu selalu datang tiap saat, bersamaan dengan bayang-bayang sialan yang membuat dirinya nyaris gila.

Kezia menghela napas panjang setelah sadar ia masih sendirian di sini, di kamar apartemen milik ayah kandungnya yang sudah ia tempati selama hampir dua tahun. Diraihnya segelas air dari atas nakas bersama sebuah pil lalu meminumnya hingga tandas.

Napasnya berangsur-angsur membaik. Jantungnya yang semula berpacu dengan membabi buta perlahan kembali berdetak secara normal. Getaran yang dirasakan tubuhnya dan sakit di kepala juga mulai mereda efek obat penenang yang baru saja ia telan.

Sedetik kemudian tangan Kezia bergerak memeluk tubuhnya sendiri yang lumayan dingin sambil mulai terisak. Mimpi buruk itu hampir setiap malam datang menghantui dan ia tidak punya siapa pun di sisi. Hanya obat anti depresan yang selalu bersamanya untuk menenangkannya. Bahkan tanpa ingin, Kezia sudah lama ketergantungan pada pil-pil itu.

Gadis bersurai hitam itu menggerakan jari menepuk-nepuk pundaknya, berusaha membangkitkan energi dan harapan. “Tahan sebentar lagi, Kez,” katanya dengan suara serak.

Kezia Lizina selalu punya cara untuk mengakhiri hidupnya—meski berkali-kali gagal. Namun bagai keajaiban, malam itu tidak sedikitpun terlintas pikiran bunuh diri di benaknya. Yang dia butuhkan hanyalah menangis untuk membuat hatinya terasa sedikit lebih lega.

___

“Aku nggak ngerti yang ini, Ci. Susah banget ngapalin rumusnya.”

Chelsea menyandarkan tubuh kurusnya pada bangku kayu di belakangnya. Jam istirahat kali itu akan ia habiskan di perpustakaan bersama kedua kakak kelasnya, Abelle dan Shella. Entah sejak kapan Chelsea jadi sering mampir ke ruangan dengan rak-rak tinggi menjulang itu.

“Sini-sini biar aku bantu.” Shella menggeser buku paket bertajuk Matematika itu lebih dekat ke arah Chelsea. “Kamu cukup cermati ini aja. Misalnya yang ini, sin A plus B sama dengan sin A dikali cos B plus cos A dikali sin B. Kalo tandanya di sini plus berarti rumusnya juga jadi plus. Nah, kalo awalnya minus maka di rumusnya juga bakal jadi minus. Kayak misal, sin A min B sama dengan sin A cos B minus cos A sin B. Gitu, Chel. Tapi ini berlaku untuk yang sinus aja, ya. Kalo cosinus jadi kebalikan, kalo di awalnya plus maka di rumusnya jadi minus, begitu juga sebaliknya. Kayak—”

“Aduh, Ci Shella ngomong apa sih dari tadi? Aku nggak ngerti,” sela Chelsea dengan wajah memelas. Rambut pendeknya sudah berubah acak-acakan sejak tadi gara-gara ia terus mengusaknya selama Shella menjelaskan.

Shella menghela napas panjang. “Bingung juga, ya.”

Chelsea meringis. “Belajar bukan minatku, Ci.”

Sedetik kemudian terdengar suara buku beradu dengan meja. Rupanya Abelle sudah selesai belajar. Mata elangnya menatap Shella dan Chelsea bergantian. “Makan yuk.”

FRAGILE || StarBe✧Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang