3

792 51 5
                                    


"KI.. SA..." aku kembali berbisik dengan suara lebih tergagap dari sebelumnya.

"Kamu kayak baru melihat hantu." Kisa mengulum senyum.

Aku mendeham pelan, ikut tersenyum. "It's just that..."

"It's a long time since we last met?"

Aku mengangguk.

"Lumayan lama kita nggak bertemu, Aga."

Lumayan lama? Kisa terkesan sama datarnya seperti saat pertama kali kita berjumpa. Menurutku, ini bukan sekadar lama! Lima belas tahun berlalu sejak perayaan Lebaran dengan kejadian heboh itu, kala patung kristal Rogaška di ruang utama jatuh tersenggol.

"Ya," meski terperangah, reaksiku tetap kalem. Dalam jarak sedekat ini, sulit untuk tidak menatap langsung paras Kisa dengan mata bulat penasarannya yang juga tengah meneliti tiap sudut wajahku tanpa malu-malu. "Kamu... nggak banyak berubah," kataku jujur.

"Oh, ya?"

"Rambut panjangmu... juga matamu—semua masih sama seperti Kisa kecil waktu itu." Aku menelan ludah ketika menatap bibir kemerahan yang berjarak amat dekat itu. Aku bukan lagi Aga kecil yang masih duduk di kelas 4 SD—kita berdua bukan anak kecil lagi. Kisa tetap tenang, mengapa ia sulit melakukan yang sama?

"Belasan tahun berlalu dan Aga masih seganteng dulu."

Aku tercengang. Tersipu, lebih tepatnya. Jika koridor di lantai dua tidak seremang-remang ini, pastilah Kisa dapat melihat rona merah di wajahku akibat pujiannya itu.

Siapa kamu sebenarnya, Kisa?

Tiba-tiba, pemikiran itu muncul. Belasan tahun berlalu dan tak sedikit pun kudengar kabar tentang keluarga Wilaras—keluarganya Kisa—kecuali Nenek Ismi yang tak pernah absen saat perayaan Lebaran di Jalan Sukabumi. Ia datang seorang diri saja. Padahal, selama ini kerabat dekat, juga rekan bisnis, keluarga Sudiro tak pernah datang sendiri. Para Hanafiah selalu membawa putra-putri mereka yang berparas latino dan seru saat berbincang di taman belakang. Keluarga Senjaya, termasuk anak-cucu mereka yang sebagian bermukim di Eropa, pasti mampir tiap kali perayaan Lebaran digelar.

Semua, kecuali keluarga Wilaras.

Setelah kuperhatikan, sepertinya Nenek Ismi dan nenekku selama ini tidak terlalu akrab. Saat jamuan teh sore di rumah, aku tak pernah melihatnya hadir. Begitu juga ketika pesta kebun triwulan yang rutin Nenek gelar di taman belakang. Nenek Ismi Wilaras hanya bertamu saat perayaan Lebaran dan satu-satunya keluarga yang pernah dibawanya adalah Kisa.

"Aga?"

Aku sedikit terkejut. Entah berapa lama diriku melamun sampai Kisa memanggilku. Sejujurnya, aku menyukai cara Kisa mengeja namaku—dan ingin mendengar itu sekali lagi.

"Jadi, selama ini kamu tinggal di Amerika?" aku mendeham, "Atau, Perancis?" Aku teringat bagaimana lancarnya gadis ini berbicara dalam Bahasa Perancis saat patung kristal itu hampir menimpaku.

"Amerika. Chicago," jawab Kisa,"Kuliah di School of the Art Institute of Chicago."

"Sejak dulu kamu tinggal di Amerika?"

"Sejak Ayah jadi dubes di sana."

"Oh. Sekarang masih?"

Kisa menggeleng.

Aku menunggu jawaban yang lebih panjang dari ini, tetapi Kisa selalu irit kala merespons. Padahal, begitu banyak yang ingin kuketahui tentang dirinya... kehidupannya.

Sekonyong-konyong, suara tawa keras terdengar dari lantai bawah.

"You can let go of my hands."

Hati Tetap di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang