SETELAH mengetahui status Kisa dan Surya sebenarnya, aku heran mengapa masih tetap berada di ruangan ini. Tetapi, begitulah aku... dan rasa penasaran berlebih yang kadang hanya bisa kumaki sendiri.
Derasnya hujan di luar menjadikan suasana kian dingin, namun jauh dari syahdu. Senyum sopan bertebaran, seakan-akan tertarik terhadap topik terkini—gejolak politik, krisis moneter, Titanic—yang tengah diperbincangkan, tetapi semua tak lain hanya polesan basa-basi.
Anehnya, ini keadaan yang diam-diam sudah kuantisipasi saking berjaraknya diriku dengan keluarga Wilaras; begitu sedikit yang kuketahui tentang mereka.
Kutolehkan kepala ke kiri, mencoba mengenali lukisan Berthe Morisot, Les Poires, yang didominasi nuansa lembut warna pastel; pernahkah goresan artistik tersebut tersimpan dalam ingatanku?
Kemudian, kupandangi sesaat grandfather clock khas Jerman yang berdiri kokoh di sudut ruangan, dengan tanaman dalam ruangan berukuran besar di sisinya. Apakah pojokan itu pernah jadi tempatku bersembunyi saat main petak umpet?
Sudah kuduga, jawaban untuk semuanya adalah tidak. Meski nama Wilaras sama-sama tercatat dalam keanggotaan The Society, seperti halnya Sudiro, Hanafiah, Singgih, maupun Senjaya yang kediamannya cukup rutin kukunjungi, aku merasa asing dengan suasana rumah keluarga Wilaras, seolah-olah ini kali pertama kujejakkan kaki di sini.
"Sebuah kebetulan," tiba-tiba, suara Nenek Ismi membahana, menghentikan Surya yang tengah memaparkan alasan dirinya percaya bahwa krisis ekonomi tak lain sebuah rekayasa,"dulu pun seorang Sudiro duduk di tempatmu, Aga."
Aku terdiam bak siswa patuh kala mendengar suara lantang guru di kelas.
"Siapa yang Nenek maksud?"
Untungnya, mulutku hanya terkunci sebentar dan tanpa ragu kulisankan pertanyaan itu.
"Tentu ayahmu, Nak." Nenek Ismi tersenyum misterius di balik cangkir teh yang baru disesapnya.
"Tadi kudengar namamu Aga—Aga Sudiro," Surya memotong dengan nada bersemangat,"apakah ada hubungannya dengan Arsyad Sudiro?"
Aku mengangguk. "Itu ayahku."
"Such a gritty businessman—and dealmaker," Surya berkomentar seraya menggeleng penuh kekaguman.
"He is," aku tersenyum, terbiasa mendengar kebanyakan orang secara gamblang melontarkan pujian kepada Ayah.
Tak hanya masih di sini, diriku bahkan berbincang dengan Surya tak ubahnya sepasang teman lama di saat adegan ciuman mereka terus berputar di kepala.
"Aku..." suaraku berhenti, tak tahu bagaimana cara menyampaikan apa yang kumaksud tanpa terdengar terlalu rikuh maupun penasaran,"apakah dulu kita pernah bermain bareng, Kisa?"
"Selain waktu insiden patung Rogaška jatuh?"
Respons Kisa spontan membuatku menahan tawa hingga Nenek Ismi dan Surya keheranan. Jelas-jelas itu sama sekali tidak termasuk kategori main bareng!
Surya mendeham sekali,"Kalian berdua harus mencoba bergaul dengan orang-orang di luar The Society."
"Sudah, kok. Dengan lelaki yang tiba-tiba menemukan tambang emas di pesisir Maluku Tengah, misalnya." Kisa menatap penuh arti ke kekasihnya.
Walau tersanjung, Surya Andre Magali diam-diam merasa tersindir. Apakah ini berarti Kisa mencap dirinya nouveau riche—orang kaya baru?
Aku berusaha tetap fokus pada niatan awal memenuhi undangan Nenek Ismi, yakni mengumpulkan secuil informasi tentang hubungan yang tak kuketahui... rahasia yang tersimpan rapat di balik keseruan pesta dan perayaan... apa saja yang pernah terjadi di masa lalu. "Jadi, saat insiden patung jatuh dulu, itu pertama kali kita bertemu?" tanyaku seperti tengah menginterogasi saksi di tengah berjalannya sidang pengadilan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati Tetap di Sini
RomanceAga jatuh hati kepada Kisa sejak pertemuan pertama mereka saat perayaan Lebaran. Kisa datang dan pergi tanpa bisa ditebaknya. Apakah semua ini permainan waktu, atau tak lain permainan Kisa?