1

1.4K 72 7
                                    


Jakarta, 1983

LEBARAN selalu menjadi momen kesukaanku. Ketupat ada di tiap sudut meja dan gubuk penganan, saudara yang jarang kulihat wajahnya terus berdatangan, sampai dengan "salam tempel" yang bikin aku kaya mendadak, meski semua itu mesti dilakukan dalam baju formal yang bikin gerah.

Namaku Agasthya Sudiro. Dua bulan yang lalu, aku baru saja berulang tahun kedelapan. Seperti biasa, waktu itu rumahku ramai—seperti Lebaran hari ini. Banyak temanku datang dengan batik dan sepatu mengilap sepertiku—beberapa berjas dan dasi—namun, rasanya lebih banyak lagi teman Papa yang memenuhi ruangan.

Bik Munah, si asisten rumah tangga yang sudah bersama sejak Mama duduk di bangku TK, berkata bahwa nama belakangku yang memungkinkan semua ini terjadi. Menanggapi itu, aku hanya mengangkat alis keheranan. Bahkan, hingga detik ini.

"Mas Aga nanti yang akan jadi penerusnya," lanjut Bik Munah, membuatku berpikir wanita bertubuh agak gempal ini mulai berkata-kata mirip Mama lantaran selalu siap siaga di sisinya. Tetap saja aku tak memikirkan itu lama-lama. Aku baru delapan tahun, duduk di kelas 4 SD... pastinya ada hal yang lebih seru dilakukan daripada dibuat bingung oleh serangkai nama.

Mama memboyongku dan Kintan, adik perempuanku yang masih berumur empat, ke ruang tengah dengan patung kristal Rogaška yang terlihat lebih berkilau dari biasanya dan kini ditempatkan di tengah ruangan seperti ia si tuan rumah.

Aku sungguh tak habis pikir, mengapa benda antik, besar, dan mudah pecah itu ditaruh di titik pusat keramaian. Bagaimana kalau patung indah yang konon dihinggapi arwah gentayangan itu pecah, kemudian malah menghantui rumah ini, atau kamarku yang berada tepat di atasnya?

Pandanganku beralih ke samping kiri. Tampak Papa sedang bersalaman dengan beberapa kerabat yang tampak elegan dalam setelan jas maupun busana muslim menjuntai.

Aku melirik ke Kintan yang kini berdiri di sebelah Papa. Wajah adikku ini dilipat, tidak suka dengan sikap tamu yang mencubiti pipi tembemnya. Aku hanya diam di sampingnya, sesekali tersenyum seadanya ke arah mereka yang menyapa "Apa kabar?" tanpa peduli apa jawabanku.

"Wah, May! Anakmu ganteng banget seperti bapaknya."

Kepalaku terangkat mendengar pujian bervolume nyaring itu.

Teman arisan Mama.

"Aga badannya tegap. Senang main basket ya, Nak?"

Aku hanya mengangguk. Basa-basi bernada pujian seperti ini cukup sering kudengar. Aku tahu, orang dewasa senang berkata manis sebagai wujud sopan-santun walau tak bersungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya.

Seorang wanita bersanggul tinggi menutupi mulut dengan kipas tangan berbahan sutra demi membisikkan sesuatu ke teman di sebelahnya yang sayangnya terdengar juga olehku,"Keturunan Sudiro ganteng-ganteng, ya? Semoga gedenya nggak main perempuan... dan nggak bikin anak orang bunuh diri."

"Hus! Lagi Lebaran lho, yu. Nggak enak kalau kedengeran Maya."

Pujian lagi, walau bagian akhirnya tidak kumengerti dan suara ibu-ibu itu makin tak tertangkap telinga.

Aku baru tahu kenapa rumahku selalu ramai saat Lebaran tiba. Ternyata karena nenekku, Nien Sudiro, tinggal di sini. Nenek adalah ibunya Papa, sedangkan Papa merupakan anak pertama di keluarganya. Maka itu, seluruh adik, saudara dan kerabat Papa—juga Nenek—bersilaturahmi ke sini sejak selesai Salat Ied.

Kerabat yang datang pun tak hanya mereka yang memiliki hubungan darah dengan keluarga Sudiro. Semua sesepuh The Society yang seumuran dengan Nenek juga hadir. Mereka ke sini karena Nenek termasuk yang dituakan di antara para lansia necis itu.

Hati Tetap di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang