Sambil duduk tenang di meja yang penuh berserakan dengan kertas, seorang lelaki berambut biru, dengan wajah datarnya, menghadap ke luar ruangan. Mata tajamnya tak bisa berhenti menatap dari balik jendela besar di depannya.
Menatap ke arah matahari yang akan segera kembali ke peraduan. Hanya diam sambil merasakan sisa cahaya sang surya yang selalu setia menemani kesendiriannya yang ia habiskan di ruang belajar sepanjang hari.
Tok tok
"Masuklah." Wajahnya tak mau berpaling dari warna langit sore hari.
Ternyata seorang pelayan datang, dan segera membungkuk hormat dari balik punggungnya. "Permisi tuan muda, sebuah surat datang dari istana." Pelayan menghampiri tuan mudanya yang tetap diam itu, lalu menaruh sepucuk surat berstempel khas dari keluarga istana di meja.
Ia menoleh sedikit ke sisi sebelahnya. Sama sekali tak tertarik untuk segera membuka surat. "Itu undangan untuk perayaan kedewasaanku kan?"
Tidak ada yang perlu dibicarakan oleh keluarga raja dengan anak Duke yang masih di bawah umur, selain tentang dimulainya karirmu melalui perayaan kedewasaan saat kau berada di umur delapan belas.
Undangan seperti ucapan selamat datang ke neraka ini,
Setelah pesta berakhir, pembicaraan politik yang melelahkan menunggu sang pewaris posisi Duke tersebut, Edward Tudor.
"Tuan muda,"
Sampai sepucuk surat muncul dari balik jas si pelayan. "Dan ini surat dari orang itu." Matanya melebar.
Akhirnya perhatiannya tergantikan ke arah datangnya pelayan.
(Kaget anjim ganteng bgt)
Hanya surat itu yang mampu membuatnya antusias. "Cepat berikan padaku!"*****
Senyum Edward tidak akan luntur seharian sampai ke alam mimpi sekalipun, walaupun sepucuk surat yang berharga itu sudah terbakar habis, dan hanya tinggal abu di dalam perapian di depannya.
Dia duduk rileks sambil memejamkan mata. Rasanya sangat lega dan bebannya sedikit terangkat, setelah mengetahui suatu hal yang sangat ia senangi.
Gradak gradak
Telinga tajamnya mendengar suara ribut dari arah luar kediaman Duke.
Kriet
Suara seperti kereta kuda itu, ia yakin, kakaknya baru saja pulang dari pemakaman.
"Aku malas menemuinya tapi aku ingin pamer rasa senangku." Dengan gerakan malas, dia beranjak dari sofa. Merapikan jasnya agar terlihat lebih berwibawa, sebelum beradu urat dengan musuh satu-satunya di dalam hidupnya tersebut.
*****
"Nona." Seorang pelayan wanita dengan tergesa menghampiri Irene yang baru saja masuk ke dalam rumah. Tanpa ragu langsung membisikkan suatu informasi penting ke telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOODY MARY
FanfictionDia pujaan hati semua bangsawan, sebelum suatu insiden menghancurkan kesan tersebut