Ingat kan? Judul desimal, berarti full flashback hehe
Happy reading ❤️
Irene berjalan sendirian dengan pikiran yang penuh tentang teman barunya.
Dia memikirkan ulang tentang keputusan sepihak dari ibunya.
Langkahnya terhenti.
Irene sepertinya tahu kenapa jadi seperti ini.
Semua itu bermula karena ia pernah mengeluh minta dilahirkan seorang adik lelaki kepada ibunya. Ia curhat sambil meneteskan air mata tentang kesepian yang dirasakan karena tidak ada orang sebayanya yang bisa diajak bermain dan mengerti tindakannya, selain sang ibu di rumah itu.
Keadaan ibunya pun membuatnya tidak bisa selalu mengerti dirinya karena harus banyak berisitirahat. Irene tidak pernah menyalahkan ibunya yang saat itu belum mengumumkan penyakitnya. Irene sangat sayang kepada beliau.
"Ah semua karena Duke keparat itu!" Pernah, Irene yang jadi ingin seorang adik untuk dijadikan temannya itu, langsung meng-iya-kan permintaan ayahnya, Duke, untuk membantu dalam membujuk sang ibu agar mau mempunyai anak lagi.
Satu hal yang pasti. Irene takut dengan keberadaan Duke.
Bagaimana bisa Irene menolak jika sebelum meminta, Duke akan melemparkan beberapa gelas ke lantai di depan Irene? Air mata yang mengalir ketika bercerita dengan ibunya pun ia yakini sebagai air mata karena ketakutan, bukan karena mendalami cerita kesepiannya. Semua itu ia rahasiakan dari sang ibu. Ibunya harus tetap sehat tanpa banyak pikiran agar bisa selalu di sampingnya.
Irene bukanlah anak kecil pada umumnya. Gen itu menurun dengan baik padanya. Dia sudah bisa memikirkan kehidupan di masa-masa mendatang dengan hati-hati.
"Nona Val dimana? Hiks, ibu peri dimana? Huhuhu~"
Irene baru sadar sudah sampai di teras belakang. Di sebelah ada gudang persenjataan prajurit Duke Tudor. Dan ia mendengar tangisan sesuatu atau seseorang dari arah itu?
Kriek
"I-ibu peri?" Bagaikan pahlawan kesiangan, mata anak lelaki yang menangis itu berimajinasi, melihat ke arah orang yang masuk itu seakan orang itu mengeluarkan cahaya bak malaikat khayalannya. Penyelamatnya sudah datang.
"Bagaimana bisa mereka lupa mengunci pintu?"
"Kakak peri?" Belum selesai Irene menendang marah pintu kayu itu, anak di depan itu berlari ke arah penyelamatnya itu dan langsung memeluk erat tanpa takut. "Philip takut hiks, ini seperti terjebak di lemari itu hiks, gelap, tidak ada lilin, hiks kalau gelap jadi mudah dipukuli, Philip tidak mau lagi."
Apa?
Philip merasakan tepukan pelan di belakang kepalanya, begitu menenangkan.
"Ibu tidak bisa mengabulkannya maaf hiks sayang,
Ibu janji, akan memberimu hadiah yang banyak untuk menebusnya hik- maafkan ibu, Irene."
Anak ini sama saja sepertinya. Huft.
"Hei kamu, nama?" Dengan kilat, "Philip hiks kakak hiks peri." Bisa, walaupun sesenggukan.
Irene mendengus, sudah berapa kali ia mendengar julukan aneh tersebut? "Kukira ada nama panjang, ternyata asli dari jalanan ya?"
Huhuhu~
"Coba lepaskan aku dulu." "T-tidak mau!" "Lepas!" "Tidak!"
"Tidak!"
Mereka berdua sibuk adu dorong, bahkan lupa jika pelukan itu sudah hilang sedari beberapa detik lalu.
"Philip." Yang dipanggil terdiam. Panggilan itu terasa berbeda kala didengarkan dari mulut orang berwibawa di depannya.
"Philip, angkat kepalamu." Ia menurut, dan akhirnya terlihatlah wajah cantik yang tidak asing lagi karena beberapa saat lalu sempat melihatnya di kamar sang ibu peri.
"Kau tidak akan kembali ke tempat mengerikan itu. Aku jamin."
Mulai saat itu Philip menjaminkan pula hidupnya demi kakak peri penolongnya.
.
.
Tbc
Created 17/07/20
KAMU SEDANG MEMBACA
BLOODY MARY
Fiksi PenggemarDia pujaan hati semua bangsawan, sebelum suatu insiden menghancurkan kesan tersebut