2. Radit

10.3K 810 17
                                    

Radit POV

🍁

Hujan deras mengguyur Ibu Kota malam ini. Sebelum memutuskan pulang, aku mampir membeli martabak manis rasa coklat kesukaan istriku semenjak hamil. Setelah penantian hampir satu tahun, akhirnya Jihan mengandung buah hati kami. Tentu saja aku senang bukan main. Bahkan selama dua bulan terakhir ini, aku tetap stay di Jakarta. Tidak seperti bulan-bulan sebelumnya dimana aku rajin berpergian ke luar kota. Hanya saja sesekali harus lembur seperti hari ini.

Sekarang baru jam sepuluh malam. Biasanya Jihan belum tidur karena sengaja menunggu kepulanganku. Itu sebabnya aku tidak bisa keseringan lembur. Karena Jihan pasti akan menungguku pulang. Sedangkan istriku harus banyak istirahat mengingat kondisinya yang sedang mengandung. Namun pengecualian untuk malam ini.

Bukan Jihan yang menungguku di sofa ruang tamu seperti biasa, melainkan Lana. Sahabat yang sudah Jihan anggap sebagai saudara. Aku tidak pernah merasa terganggu dengan kehadirannya yang hampir setahun tinggal disini. Justru senang karena Jihan ada teman selagi aku ke luar kota. Hanya saja kami tidak begitu dekat. Atau aku saja yang enggan mendekatkan diri. Tetapi bukan berarti aku membencinya.

"Dimana Jihan, Lan?" aku bertanya sambil menyibak rambut yang basah terkena cipratan air hujan.

Wanita itu hanya diam. Duduk dengan posisi menunduk sambil memainkan kuku-kuku jarinya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Lana. Namun aku bisa menangkap bibir pucat wanita itu.

"Kamu kelihatan sakit."

Kami tidak pernah mengobrol kecuali kalau ada Jihan. Tak jarang sebenarnya Lana membuka percakapan yang selalu aku balas seadanya dan membuat obrolan kami terhenti. Aku tidak peduli apa yang wanita itu pikirkan tentangku. Aku bukan tipikal orang yang mudah untuk mengakrabkan diri. Butuh waktu yang cukup lama untuk membiasakan. Namun entah kenapa begitu mudah ku lakukan saat bersama Jihan. Mungkin karena istriku yang terbilang cerewet. Dari yang aku perhatikan, Lana bukan tipikal wanita yang banyak bicara seperti Jihan. Tetapi tidak disebut pendiam juga. Mungkin itu sebabnya kami sulit untuk dekat.

"Lan," aku memanggil namanya sekali lagi. Dan kali ini dia mendongak menatapku. "Kamu sakit?" ulangku. Bisa ku lihat gelengan lemahnya.

"Jihan sudah tidur ya?" aku mencoba basa-basi. Tak enak bila langsung meninggalkannya. Namun yang ku dapati justru gelengan Lana untuk kedua kalinya.

"Kalau gitu aku nyusul Jihan ke kamar. Ini martabak buat kamu. Aku pesankan yang rasa kacang. Kamu nggak ada alergi sama kacang 'kan?"

Tidak ada jawaban.

Aku lantas mengernyitkan dahi melihat Lana yang tampak berbeda dari biasanya. Namun aku tetap menaruh satu kotak martabak ke meja sambil meliriknya sekilas.

Tiba-tiba saja bulu kudukku meremang. Melupakan fakta kalau sekarang malam jumat. Entah kenapa suasana mendadak menjadi horor. Apalagi setelah ku perhatian sekali lagi, Lana ternyata mengenakan gaun putih selutut dengan rambut sepunggungnya yang dibiarkan tergerai. Belum lagi bibir pucatnya tak bisa ku abaikan begitu saja.

Aku sedang bersiap untuk kabur. Namun suara Lana menghentikan gerakanku.

"Jihan nggak ada di rumah, Mas. Dia menginap di rumah teman."

Lana berdiri dihadapanku dengan wajah tanpa ekspresi.

"Tapi dia nggak bilang sebelumnya." aku masih menolak percaya kalau dihadapanku saat ini bukan hantu atau semacamnya. Jadi ku putuskan memundurkan langkah.

"Makanya aku yang bilang, Mas. Jihan ada urusan dan baru balik besok."

Melihat Lana menghela napas, barulah aku percaya kalau itu adalah dirinya. Bukan makhluk halus sialan yang sempat aku pikirkan.

The Devil Beside MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang