16. Reflection

1.2K 414 60
                                    

Waktu Wendy bilang kalau dia berani adu soal anak temen-temennya sama anaknya sendiri yaitu Biru, alasannya adalah,

"Bukan karena Mama gak mau kalah dari mereka, tapi karena kamu memang anak yang hebat."

Kadang kalau inget hari itu, Biru masih agak denial sama perasannya sendiri. Biru pikir dia memang lagi stress aja. Putus sama Sean, masalah Adika yang bikin Biru ikut kepikiran dan khawatir, masalah lainnya ditambah tebakannya bener dan rasa kecil hati yang ngalahin semua pikirannya saat itu juga.

Namun kali ini enggak, Biru mau berdamai dengan semua yang dia rasain. Selama ini dia pikir dia gak cukup baik buat ngerasain apa yang sebetulnya dia rasain. Biru selama ini terlalu nutup dirinya buat nerima emosi yang dia punya.

Kalau bicara soal anak angkat, dulu Biru cuma tau dari film. Kemudian kenal Sean yang ternyata bukan anak sedarah di keluarganya, sampai hal itu Biru alami sendiri. Dulu Biru gak bisa betul-betul percaya kalau Sean bilang keluarganya betul-betul udah kayak orang sedarah. Biru pikir bagaimana bisa perasaan kita sendiri baik-baik saja dengan semua fakta yang ada, pasti rasanya aneh. Kalau sekarang keadaannya sudah beda, Biru setuju dengan apa yang pernah Sean bilang.

"Biru,"

"Iya?" Biru berbalik dan berdiri (tadinya jongkok).

"Udah?" tanya Anton.

Anak keduanya disuruh nyuci mobil sekitar satu jam lalu.

"Udah."

"Nih, panasin." suruh Anton seraya ngulurin kunci mobil.

Biru agak seneng, jujur. Biru selalu tertarik sama hal-hal tentang mobil, apapun itu.

"Ganti celana." suruh Anton.

Biru ngangguk, "Ini mau mandi."

Anton berdecak sambil melambaikan tangan, "Jangan dulu mandi. Anter Papa keluar."

Biru gak langsung jawab.

"Papa mau disupirin kamu."

Alis Biru naik, lalu dia buru-buru masuk kedalam rumah.

"Oke tunggu, Pa."

Anton terkekeh, ada niat mau kasih Biru sesuatu. Selama ini Biru gak banyak minta anaknya dan Anton juga bukan berarti baik-baik aja karena Biru begitu. Tetap aja sebagai seorang Ayah, Anton selalu mau bikin anaknya bahagia, kalau bisa pasti Anton kasih, apapun itu yang ada di dunia.









"Kayaknya tepungnya kurang, Ma."

"Kamu tadi margarin kebanyakan. Kata Mama juga dikit-dikit."

"Dea gak tau..."

"Gagal ini."

"Tambahin?"

"Nanti remuk kuenya."

"Ya udah tinggal tambahin terigunya lagi."

"Ah, terserah kamu aja."

Dua jam kemudian...

"Kok keras, ya..."

Wendy pening, Dea ketawa.

"Ini kue?" tanya Yassine heran, disusul kue yang udah digigitnya diketuk-ketuk ke meja dapur. "Gigi Idan sakit..."

"Kamu yang abisin, ya. 'Kan kamu yang mau." kata Wendy.

Dea panik, "Mama juga makan, 'kan ini Dea bikin buat Mama."

"Gak mau ah ini mah bukan kue keju, ini mah batu!"

"Baut ini mah." timpal Yassine.

Tawa ketiganya pecah siang-siang di dapur hari itu. Katanya Dea mau belajar bikin kue, gak tau mau ngapain pokoknya pengen bisa alias ada-ada aja!

"Ma, Idan keluar ya bentar lagi." izin Yassine.

"Mau kemana?" tanya Wendy.

"Biasa, Idan manggung bentar lagi liat aja."

"Beneran? Nanti Mama sama Papa nonton."

"Sok, liat nanti."

Gak lama Yassine pamit ninggalin Kakak dan Mamanya yang masih di dapur. Dia naik ke kamarnya dan bawa gitar elektrik yang Anton kasih beberapa waktu lalu. Gitar berharga itu, sebab sampai ada acara serah terimanya di rumah waktu itu sekitar jam 8 malam. Anton dan anak keempatnya itu jabat tangan sambil dipotret.

Yassine kelihatan lebih aktif di kegiatan yang ternyata memang positif. Sebab Yassine betul-betul tau apa yang dia mau dan dia butuh, di mata Anton dan Wendy itu bukan hal umum. Umumnya anak-anak seusia Yassine coba-coba banyak hal karena penasaran, pengen dibilang bergaya, sampe rela ngelakuin hal-hal yang gak ada manfaatnya. Berbeda dengan Yassine, Anton bisa lihat itu waktu anaknya diajak ngobrol berdua soal musik. Anton yakin Yassine bisa membawa diri dan tetap bakal Anton awasi.

"Kamu serius mau main band?" tanya Anton malam itu.

Yassine ngangguk, "Tapi gak buat debut di band."

Anton mengernyit, "Terus buat apa?"

"Idan mau jadi additional player."

"Kenapa?"

"Biar Idan bisa terus belajar. Kalo additional 'kan nyesuaiin musik sama beda-beda band. Jadi Idan gak diem di zona nyaman." jawab Yassine mantap.

Ada rasa kagum dibenak Anton malam itu, dia tertegun dengan penuturan anaknya yang mau coba hal positif dan bukan cuma asal coba mengingat bagaimana dulu Anton pernah main band tapi gak jadi apa-apa dan cuma buang-buang waktu tepatnya. Sebab dulu Anton lalai sama kewajibannya dan lebih suka band-band an.









"Bener ya, Pa?" tanya Biru lagi kelihatan semangat.

"Bener, tapi Papa belum bisa beliin mobilnya." jawab Anton disertai kekehan.

Biru nggeleng, "Gak apa-apa, Biru pengen punya SIM dulu."

Anton ngangguk-ngangguk, "Boleh. Terserah kamu."

"Makasih, Pa."

"Makasih apa? 'Kan cuma bikin SIM. Makasih buat diri kamu sendiri aja." balas Anton.

"Makasih buat Biru sendiri buat apa?" tanya Biru balik.

"Buaaat..." Anton pura-pura mikir. "Papa aja lah yang bilang makasih." lengannya tergerak ngerangkul anak keduanya.

Biru agak senyum, bingung, "Buat apa?"

"Makasih udah jadi anak Papa."

Biru ketawa dan agak nunduk. Gak usah nangis... batinnya.

Anton sejak lama sadar bahwa jadi orang tua itu bukan harus ditakuti tapi dihormati. Namun agaknya seiring berjalannya waktu konsep itu kadang kalah dengan pikiran dan pandangannya. Sebab kalau takut, anak-anaknya cuma bakal takut dihadapannya. Bisa saja dibelakang mereka, anak-anaknya berani melakukan hal yang salah dan tentu Anton dan Wendy gak mau.

Sebab baik Anton maupun Wendy jadi begitu introspeksi setelah kejadian Adika. Betul-betul refleksi diri setelah anak sulung mereka ternyata melenceng jauh dari apa yang mereka tau dan kira. Bahwa betul, menjadi orang tua itu bukan cuma mendidik, tapi juga mengawasi, mengiringi. Kalau cuma mendidik alhasil anak-anaknya malah tergiring bukan seiring.

Itulah saat dimana Anton merasa sangat sadar. Selama ini mungkin cara mereka mendidik dan mengiringi anak-anaknya gak begitu tepat. Sampai akhirnya Adika jadi salah satu akibat. Kalau inget kejadian itu Anton selalu merasa bersalah sekaligus bingung kenapa Adika sejauh itu dari perkiraannya. Namun hidup bukan untuk disesali, semua sudah ada nasibnya, takdirnya. Hidup terus berjalan. Sebagai Anton, sebagai Ayah dia pikir gak ada waktu buatnya menyesal atas apa yang udah berlalu. Sekarang yang ada tinggal diperbaiki saja. Gak ada gunanya menyesali yang sudah.






























panjaaaangggg hahahahah
makin pjg makin seffi 😎⚠️🐄

Pumped Up KicksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang