4. Terbiasa Biasa Saja

2.8K 685 75
                                    

"Makanya jangan maen game terus, ah! Liat ini kamu nilai!" kata Wendy dengan mata yang naik turun sambil ngecek rapor Yassine.

Sumpah, Yassine udah kebal setiap episode beginian.

"Ini kamu mau masuk Univ Negeri gimana kalo nilainya gini?" tanya Wendy geram.

"Idan gak bakal kuliah. Idan mau bisnis."

"Bisnis apa? Bisnis game? Sama Mama diperhatiin kamu cuma maen game doang tiap hariㅡ"

"Enggak tiap hariㅡ"

"SETIAP HARI." potong Wendy penuh penekanan dan natap anaknya heran. "Bulan kemarin juga kamu minta uang buat ikut turnamen turnamen game apa lah itu gak penting."

"Tapi Idan menang 'kan? Dapet uang? Uangnya balik lagi? Malah lebih."

"Tapi uangnya kamu kemanain sekarang? Kamu pake jajan doang 'kan? Bukan balik lagi namanya. Turnamen yang jelas, olah raga kek, bela diri kek. Tuh liat A Biru medali Taekwondonyaㅡ"

"Ada sekoper."

"ㅡada sekoper."

Kata mereka barengan, Yassine udah bosen dengernya.

"Makanya udah A, itu PS atau Nitendo apa lah kata Mama juga jual aja." geram Wendy yang kebetulan di ruang tengah ada Adika.

"Dih jangan lah!" timpal Yassine.

Adika ketawa lihat adiknya panik.

"Disekolahin mahal-mahal tetep aja loading." ledek Andrea yang taun ini masuk lima besar juara umum.

"Gak usah ikut ngomong." lerai Wendy bahkan sebelum dua bungsunya cekcok.

Tapi Yassine diem seolah-olah gak nganggap Andrea ada.

"Idan janji, Ma, bakal masuk ranking ntar."

"Ntar, ntar kapan?" tanya Wendy sambil nyerahin rapornya.

"Ya ntar kapan-kapan."

"Hmmm..." jawab Wendy gak mau panjang.

"Tapi kalo Idan masuk ranking, beliin D-Tracker, ya?"

"Hah..."

"Yang second biarinㅡ"

"Belajar aja dulu yang bener, buktiin..." jawab Wendy sambil berdiri dan langsung pergi.

Setelah Wendy masuk kamarnya, Yassine naro rapornya asal dan duduk di kursi tempat Wendy duduk tadi. Di ruang tengah juga, cuma dibelakang sofa, deket jendela ruang tengah. Yassine berdecak refleks. Emang, pikirnya, ujung-ujungnya bakal gitu-gitu aja: mau gimanapun Yassine gak pernah bisa sebanding sama sodara-sodaranya.

Yassine terbiasa tumbuh biasa saja.

"Ck, kecilin dikit." kata Yassine.

Adika yang lagi dengerin musik di sofa gak lama langsung pake headsetnya.

Yassine gak suka musik.

Seinget Yassine dari dulu Adika gak pernah ngecewain Mama sama Papa. Biru juga, meskipun Biru gak terlalu jago di akademik, Biru punya bakat lain yang medali sekopernya dibangga-banggain Mama. Dea juga yang Yassine lihat aman-aman aja, meskipun gak menonjol, tapi Dea gak pernah yang namanya cari gara-gara atau anjlok. Andrea juga otaknya lumayan, dari dulu selalu masuk ranking sampai juara umum.

"Bae lah."

Jadi satu-satunya kalimat yang nopang Yassine, yang bikin orang tuanya mandang Yassine gak pernah punya kemauan. Buat Yassine gak masalah, lagian dia juga merasa gak punya bakat. Dia pikir minta ini itu juga kalau Mama Papanya ada pasti dibeliin. Karena yang selalu kejadian begitu, Yassine gak perlu bikin perjanjian apapun kalau minta sesuatu. Kalau Anton ada pasti diiyain. Anaknya mungkin kelihatan lempeng, sebenernya Yassine cuma gak percaya diri. Yassine juga ngerasa kayak gak pernah punya kesempatan buat dia nunjukin apa yang dia bisa.

Yassine suka musik.

Yassine inget dulu waktu SD pernah ikut les piano, karena dulu di rumahnya ada piano kebanggaan Anton. Yassine paling seneng lihat Ayahnya main piano hari minggu pagi, atau kadang Adika yang lagi diajarin. Makanya Yassine pengen belajar piano biar bisa biar sama kayak Ayahnya. Begitu Yassine lagi seneng-senengnya baru bisa main piano, pianonya dijual. Yassine inget keadaan waktu itu orang tuanya lagi butuh uang. Bilang Yassine egois, cuma yang selalu jadi pertanyaan dia, diantara semua barang yang ada kenapa harus piano?

Yassine juga pernah nyoba main sama anak-anak band. Dari situ Yassine belajar main drum, main keyboard. Gara-gara pulangnya kemaleman terus Wendy nutup semua akses Yassine buat main sama anak band. Padahal Yassine udah punya posisi jadi pemain cadangan kalau dibutuhin.

Kalau yang diatas kelihatan sepele, bilang ini lebih sepele lagi. Yassine pengen bisa main gitar kayak Adika, kayak Biru, tapi cuma gara-gara senarnya pegat beberapa kali, Adika jadi ngelarang Yassine main gitarnya lagi. Mau pinjem gitar Anton gitar listrik, kalaupun Yassine bisa, yakin tetep gak boleh megang. Yassine pernah minta gitar sama Ayahnya,

"Pa beliin gitar lah."

"'Kan ada itu yang si Aa."

"Gak dibolehin pinjem."

"Emang bisa mainnya?" tanya Anton.

"Sedikit, tapi 'kan belajar."

"Belajar aja dulu, baru beli."

Sekarang di kamarnya ada gitar, Dea ngumpulin uang sendiri buat beli gitar. Meski Dea gak pernah ngelarang Yassine main gitar, tetep aja, dari pertama barang itu ada di kamarnya Yassine udah gak pernah lagi megang gitar. Bukan gitar aja, berlaku untuk semua alat musik di hidupnya. Lagian dari lama juga Yassine berdamai dengan anggapan,

'Kalau gak bisa main musik, ya udah dengerin musik aja. 'Kan sama-sama tentang musik.'

Tapi kalau cuma dengerin malah bikin Yassine terus kepikiran kenapa selama ini dia gak pernah punya kesempatan. Buat dia rasanya percuma. Kalau Andrea dengerin musik 25/8, Yassine minusnya.

Itu yang bikin Yassine lebih fokus ke game. Kalau main game, rasanya seimbang, Yassine yang ngontrol 'kan? Nah ibaratnya suara selama permainan itu adalah musik.

Kalau inget kejadian-kejadian begitu Yassine emosi, beneran, Yassine suka jadi kesel sendiri. Berakhir dengan Yassine yang sadar gak ada yang tau dan gak ada yang bisa ngilangin keselnya. Alhasil Yassine nopang dirinya sendiri lagi dengan,

"Bae lah."

Pumped Up KicksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang