“Apa maksudmu, Bos?”
“Iya kamu menemaniku untuk ke acara pembukaan klinik perawatan kulit dan tubuh besok,” jawab Bobby.
“Setiap hari juga saya selalu bersamamu, Bos.”
“Itu kan lain, kamu jangan memakai setelan dengan rompi anti peluru atau pistol.” Bobby memutar bola matanya karena jengah dengan sikap bodoh atau pura-pura bodoh.Sebenarnya Alifa tahu arah pembicaraan Bobby tetapi ia enggan untuk pergi ke acara-acara seperti itu sebab ia malas berdandan ala wanita sosialita sebagaimana teman-teman Bobby kebanyakan. Jika ia tidak menyanggupinya ia akan bermasalah yakni emosi Bobby bisa membabi buta karena keinginannya tidak dipenuhi, Alifa hanya menunduk dengan melihat jam tangannya.
“Bagaimana kamu bersedia?”
“Ba—baik, Bos.”
Padahal dalam hati dia merutuki nasibnya. Dia membayangkan bagaimana harus berdandan menor atau memakai sepatu high heels.
“Buseet dah, mending berhadapan dengan sepuluh orang preman dari pada harus berbaju saksi,” umpatnya ketika Bobby sudah pergi ke dalam.
**
Alifa menatap nyalang bangunan yang ada di depan tempatnya berdiri bersama Bobby, itu adalah sebuah salon dan butik tempat orang-orang dari kalangan jetset. Apabila biasanya dia berada di belakang majikannya kini ia dipaksa untuk berjalan berdampingan. Bisa saja ia membanting Bobby tetapi jika itu ia lakukan malah urusannya pekerjaan jadi taruhan. Nasib adiknya tak tahu lagi maka ia dengan berat hati menyanggupinya.“Mari kita masuk!” ajak Bobby.
Alifa mengangguk dan ikut di belakang Bobby dengan langkah perlahan. Bobby menoleh ke belakang melihat Alifa yang melangkah ragu-ragu.
“Hadeuh, bodyguardku kok jalannya kayak siput sih,” ucap Bobby lalu menarik tangan kiri Alifa dan berjalan dengan gagah mengikuti Bobby Romano. Di dalam salon sekaligus butik itu ia menatap sekeliling banyak wanita-wanita yang memilih baju atau yang mengantri untuk di make over oleh seorang ahli. Di butik terpampang baju-baju pilihan karya desainer ternama negeri ini.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya salah seorang pramuniaga berjenis kelamin perempuan yang sudah senior.
“Tolong pilihkan wanita ini gaun yang tertutup dan elegan.” Alvian memberi tahu wanita itu. Wanita yang di name tagnya bernama Sofia mengajak Alifa untuk melihat-lihat gaun yang sesuai dengan Alifa. Alifa yang tidak terbiasa pergi ke butik yang mahal memegang gaun-gaun yang sesuai dengan dirinya.
Akhirnya dia sudah mendapatkan gaun yang sesuai sesudah mencoba terlebih dahulu di kamar pas. Sepatu dan tas pun tak luput dari incaran Sofia untuk dipilihkan spesial bagi Alifa.
“Sudah?” tanya Bobby pada Alifa.
“Sudah, Bos. Sekarang kita akan ke rumah Bos atau langsung ke acara?”
“Kamu ke salon dulu, masa wajahmu polos gitu. Gaun sudah bagus tapi wajah kayak pembantu,” jawab Bobby seraya menarik tangan Alifa untuk masuk ke salon. Seperti biasa Bobby memerintahkan kepada pihak salon untuk mendandani Alifa sementara dia pergi ke butik mencari pakaian di butik.
Tiga puluh menit berlalu Alifa sudah selesai didandani dan Bobby yang sudah berganti baju menunggu di ruang tunggu sambil menonton televisi. Gayanya yang bossy membuatnya disegani, dulu ia sering menemani Mariana ke salon ini, makanya pelayan di sana sudah tahu siapa Bobby Romano.
“Lama amat sih,” gerutunya. Dia kesal karena di ruangan yang ber-AC itu ia tidak bisa menyalakan rokok untuk penghilang kantuk.
Beberapa telepon yang masuk dia terima sesekali dia seperti terdengar memaki seseorang.
Beberapa menit kemudian telah berdiri di depan Bobby Romano seorang wanita yang cantik dengan dandanan yang elegan. Tidak norak yang dibayangkan Alifa sebelumnya.
“Ka—kamu Alifa?” tanya Bobby sambil mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tak percaya.
“Iya ini saya Alifa,” jawab Alifa. Wanita yang memiliki tubuh ramping tapi berisi dengan hidung lancip dan bibir tipis dipoles lipstik warna merah. Bobby membayar pakaian dan make up dengan tunai, sesekali ia melirik kea rah Alifa yang duduk di sofa.
“Ayo kita berangkat!” ajak Bobby sambil menggaet tangan Alifa.
Alifa berjalan beriringan menuju mobil Bobby yang berwarna hitam tanpa sopir. Jika biasanya dia jarang mengendarai mobil kali ini ia sendiri yang menjalankan mobilnya. Sesekali Alifa tampak risi dengan gaunnya yang memiliki sebuah ornament batu swarovsky serta Toulouse di bagian dada. Kulitnya yang putih amat kontras dengan warna gaun hitamnya. Melihat lalu lalang kendaraan.
“Apakah kita akan lama di acara, Bos?” tanya Alifa tanpa menoleh pada Sang Bos.
“Tergantung pengisi acaranya, Gladys menyerahkan semuanya pada panitia penyelenggara,” jawab Bobby.
Alifa berdecak kesal dan Bobby mendengarnya lalu bicara.
“Kamu diam saja dan hanya di sampingku.”
“Jika ada yang tau padaku bagaimana? Misalnya Nona Gladys mengolokku.”
“Tak ada yang akan mengolokmu, kupastikan kamu aman.”
Mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di sebuah gedung klinik perawatan tubuh. Sudah banyak yang hadir termasuk anak-anak dari kaum difabel. Perwakilan dari kementrian urusan peranan wanita juga tampak hadir.
“Hai Bobby, kukira kamu tidak akan hadir,” ucap Gladys ketika menyambut Bobby kemudian menoleh pada Alifa yang berdiri di sampingnya.
“Kamu ke sini bersama dia?” tanya Gladys dengan mata malas.
“Ya, kami berdua memenuhi undanganmu.”
Gladys berlalu dengan kesal. Acara pun berlangsung dengan berbagai sambutan dan acara jamuan makan sedangkan tante Gina bersama Om Panca terlihat bercengkerama bersama beberapa orang penting. Bobby menghampiri pamannya dan sekedar berbasa-basi menanyakan kabarnya. Acara inti sudah selesai yang tersisa adalah teman-teman Gladys. Hari sudah petang, Bobby masih asyik ngobrol tanpa menghiraukan Alifa yang sudah kesal.“Bos, apakah masih lama acaranya?”
“Kamu sudah tak nyaman ya?”
Alifa memang tak nyaman dengan tatapan Gladys dan sesekali ingin mempermalukan dia di hadapan sisa tamu yang masih berda disana seperti menumpahkan semangkuk besar cocktail seperti seolah-olah tersenggol di gaun Alifa. Ingin rasanya dia menendang Gladys atau meninju perutnya.
“Hey, Nona. Saya punya urusan apa dengan Anda?” tanya Alifa ketika gaunnya kena tumpahan cocktail.
Gladys pergi dan senyum dengan menyeringai tak peduli dengan rasa kesal Alifa. Namun, Bobby buru-buru datang dan membuka jasnya dan dipakai untuk menutupi bagian dada yang terkena tumpahan.
“Ayo kita pulang!” ajak Bobby tanpa pamit pada Gladys.
Di mobil Bobby tampak marah matanya merah dan membawa mobil dengan kecepatan sedang dia memukul setir mobilnya. Di sebuah tempat dekat rumahnya Bobby menepi. Melihat Alifa yang tertidur menghadapnya. Tangannya mengelus pipi Alifa dan membenarkan rambutnya yang menutupi wajahnya.
“Aku suka kamu, Alifa,” ucapnya dengan pelan dan mengecup keningnya.
Alifa membuka matanya.“Kita sudah sampai, Bos?”
“Sebentar lagi tadi aku ngantuk jadi menepi sebentar,” jawab Bobby berbohong.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE BEAUTIFUL BODYGUARD
RomanceKisah tentang seorang bodyguard cantik, memiliki kemampuan beladiri yang mumpuni. Harus menjadi seorang bodyguard seorang CEO yang temperamental. Ikuti ceritanya.