Ruslan adalah kepala keluarga dari sebuah keluarga yang sederhana. Ia memiliki istri yang cantik bernama Rika dan 3 orang anak. Si Sulung bernama Hanif, masih kelas 2 SMP,adiknya Indah sudah kelas 6 SD, dan Sarah si bungsu baru berusia sepuluh bulan.
Meski Ruslan hanya bekerja sebagai pedagang asongan, keluarga yang tinggal di sebuah kontrakan berukuran 4×4 m2 itu dikenal sebagai keluarga yang harmonis.Bertahun-tahun ia menjalani profesinya sebagai pedagang asongan di ruas jalan-jalan Kota Bandung, dari pukul 6 pagi hingga 6 sore,setiap hari.
Tahun-tahun itu ia sangat menikmati pekerjaannya, meski terkadang dagangannya tidak laku. Namun, hasilnya masih cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari keluarganya. Istrinya pun tak banyak menuntut, begitupun dengan-anak-anaknya. Meskipun begitu, Ruslan selalu berusaha memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Baginya, Pendidikan sangat penting. Maka apapun akan ia lakukan agar anak-anaknya terus melanjutkan Pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Namun,selama satu tahun ini ia dan keluarganya merasa sangat kesulitan. Ya, karena adanya pandemi dan himbauan #dirumahsaja, menyulitkannya dalam mencari nafkah. Pekerjaannya sebagai pedagang asongan otomatis tidak bisa di lakukan karena himbauan PSBB. Meski ia terkadang memaksa untuk tetap berjualan, kalau tidak kena teguran aparat, ya tidak laku juga dagangannya, karena kendaraan juga tidak seramai biasanya.
Beruntungnya, sang Istri berinisiatif untuk menabung sedikit dari hasil penjualan suaminya selama ini, sehingga mereka masih bisa makan untuk beberapa waktu kedepan. Namun, lama-lama tabungan itupun habis karena Ruslan tidak kunjung mulai bekerja. Meskipun sudah berusaha sehemat mungkin, tetap saja, tidak cukup.
Bantuan pemerintah yang ia dapat juga tidak seberapa, hanya bisa menyambung perut untuk beberapa hari saja. Tidak bisa di andalkan. Terbesit pikiran untuk kembali saja ke kampung halaman. Ya, sebenarnya Ruslan dan keluarganya bukan asli orang Bandung. Mereka hanya sedang mengadu nasib di kota kembang itu. Tapi, pikirannya untuk kembali ke kampung halaman itu seketika sirna ketika teringat bahwa jangankan untuk ongkos pulang, makan pun susah. Lagipula, harus melakukan rapid tes dulu jika ingin keluar kota. Uang dari mana?
Ruslan bertekad untuk kembali berdagang,apapun yang terjadi. Ia tidak bisa berdiam diri terus sementara ada keluarganya yang harus ia hidupi. Tidak peduli meski ia harus kejar-kejaran dengan apparat lagi, atau berdiri di tengah panas terik matahari, bahkan berjalan lebih jauh dari biasanya demi mendapatkan pembeli.
Dini hari, ia sudah berpamitan pada Rika untuk pergi berdagang. Meski sebenarnya Rika merasa berat untuk mengijinkan Ruslan berdagang, karena takut terpapar virus corona, harus merelakan suaminya itu kembali berdagang, karena keadaan yang memaksa. Dengan senyum manisnya, ia mencium punggung tangan Ruslan, yang dibalas Ruslan dengan mencium keningnya.
"Bapak berangkat dulu ya Bu. Assalamu'alaikum." Pamit Ruslan
"Wa'alaikumussalam. Hati-hati,Pak. Semoga dagangannya laku."
"Aammiin"
Dengan semangat 45 ia melangkahkan kakinya menuju tempat biasa ia berdagang. Biasanya, dini hari banyak kendaraan yang lewat, terutama kendaraan-kendaraan besar seperti truk yang membawa barang. Namun, rupanya ketika ia sampai disana, jalanan sangat lengang. Hanya satu-dua kendaraan yang lewat, itupun tanpa berhenti. Ruslan tidak patah semangat, ia masih terus menunggu hingga tak terasa, bayang matahari sudah tegak lurus di kepalanya. Dagangannya masih belum laku, meski kendaraan sudah mulai agak ramai.
Begitu lampu merah, ia mencoba berkeliling ke setiap kendaraan,menawarkan dagangannya, dengan senyuman yang merekah di wajahnya,meski yang di dapatnya hanya penolakan, atau bahkan tidak ada respon sama sekali. Ruslan terus berkeliling di setiap lampu merah, tak sadar bahwa ia sudah sangat jauh dari lokasi biasanya ia berdagang.