Radit

2.7K 34 1
                                    

Radit. Bocah tengil yang masuk akademi kepolisian lewat wewenang dan kekuatan seorang Grace, kini dengan sombongnya memamerkan jabatan sebagai ketua BN.

Ini adalah hasil perjanjian alot antara aku dengan Grace. Ia tak peduli nama baikku dan tak peduli apa kata publik, jika itu sudah menjadi keinginannya maka harus aku turuti.

"Selamat Pak Radit." Ucapku jijik setelah melantiknya sebagai ketua BN.

"Terimakasih Mr President."

Bocah bodoh ini belum tau bahwa ia adalah pion yang dimainkan seorang Grace.

Yap.

Pion ! Kau tau? Jika ia tak membutuhkannya, kau akan di buang Radit !

Aku melangkah melewati para pejabat yang selesai menyaksikan pelantikan singkat ini.

"Mr Presiden !" Panggil seseorang.

Aku menoleh. Rupanya ia adalah salah seorang senator.

"Aku menyadari posisimu. Aku juga turut berdukacita atas pengkhianatan Paspampresmu." Bisiknya tulus.

"Aku punya nama sepuluh orang yang dijamin bersih dan setia." Tawarnya.

"Terimakasih." Tolakku.

Ini namanya keluar lubang buaya, masuk lubang ular.

Kekalahanku bernegosiasi dengan Grace menyebabkan semua orang yang punya kepentingan menjadi semakin berani mengajukan penawaran-penawaran kepadaku.

Ia menganggap aku tak lagi sama seperti dulu. Aku bukan lagi si Raja hutan.

Istana kepresidenan sore ini terasa sangat sesak dan penuh manusia yang bermacam-macam. Aku memilih untuk menyendiri di ruanganku. Menyusun kembali strategiku menghadapi para mafia.

Pertama, tak boleh ada lagi ular dalam selimut.

Aku segera menulis surat ke kepala staf Presiden untuk memecat seluruh Paspampres yang ada. Termasuk seluruh supir dan pelayan yang ada kaitannya dengan Grace.

"Permisi Mr Presiden." Ucap seseorang mengetuk pintu.

"Silakan masuk." Jawabku tanpa memperhatikan. Mataku masih terus fokus pada tab di meja.

"Sepertinya anda sibuk sekali."

Jantungku berhenti berdetak mendengarnya. Suara itu terdengar seperti Grace.

Benar saja, seorang wanita bergaun putih nan anggun sudah berdiri tepat di hadapan mejaku.

"Gaunnya boleh saja putih tapi hati wanita ini amat sangat gelap." Geramku dalam hati.

Namun meski jahat, tak bisa kupungkiri juga bahwa aku menyimpan sedikit rasa dengannya.

Oh tidak.

Kita tidak perlu membahasnya.

"Apa lagi Grace? Belum puas menghancurkanku?"

Aku memahami gaya politik Grace. Dia sama sekali tak berminat jadi Presiden. Ia adalah king Maker yang suka menjajah dari balik layar.

Suka atau tidak. Terpilihnya aku menjadi presiden adalah campur tangannya.

Dan percaya atau tidak. Grace pun tidak punya pilihan untuk menjatuhkanku.

Aku adalah pion yang dia butuhkan. Jadi, jika aku mundur dari jabatan ini, bisnisnya pun akan memutar otak dari awal lagi untuk memikirkan bagaimana caranya membelenggu presiden yang baru.

Jadi. Kami berdua sama-sama tidak punya pilihan.

"Kalau boleh jujur. Kau adalah Presiden paling tampan yang pernah dimiliki negeri ini." Godanya.

"Dan kau politisi paling busuk yang pernah kami miliki." Tambahku.

Ia tertawa lebar mendengar seranganku.

"Hidup itu menyenangkan Bandi. Kenapa kau buat jadi sulit?"

Ia melanjutkan, "Aku ingin mengundangmu untuk datang ke acara pernikahan kami."

"What?" Aku menganga.

"Yaapp. Aku sudah cerai dengannya 5 bulan yang lalu." Jawabnya santai.

"Kali ini dengan siapa?" Ejekku.

"Radit."

Dunia seakan berhenti berputar. Burung-burung berkicau lirih. Danau menjadi tandus.

Aku berusaha tidak mempermalukan diriku di hadapan Grace. Tapi bajingan itu memang beruntung sekali.

Dididik oleh Grace, diberi jabatan dan dinikahinya pula.

"Kau hidup hanya untuk bisnis Grace? Menikahinya hanya untuk BlackDom yang kau bangga-banggakan itu?"

"No bandi. Kamu tidak akan mengerti."

Grace tersenyum. Sangat manis. Sangat cantik dan sangat menyakiti hatiku.

"Kenapa harus Radit?"

"Karena kau tidak memiliki keberanian." Jawabnya dingin.

Bibirku bergemetar. Pahit. Sangat pahit.

"Ada lagi yang ingin disampaikan?" Tanyaku.

"Hmm cukup itu saja, Mr President." Jawabnya dengan penekanan.

Grace membalikkan badan menuju pintu keluar.

"Apa sudah tertutup?" Panggilku dengan bergemetar.

Grace mengernyitkan matanya.

"Kesempatannya." Lanjutku.

Dia tersenyum melihat kelakuanku.

"Kau selalu lamban Bandi. Bahkan kau kalah dari seorang Radit." Ejeknya.

Tak ada yang meragukan kemampuan dan kepemimpinanku kecuali ketika sedang menghadapi wanita (Baca : Grace)

Aku selalu kalah. Dalam hal apapun. Kapanpun dan dimanapun.

"Ok. Selamat." Ucapku dari jauh.

"Nikmatilah Presiden. Nikmati bagaimana sakitnya." Ejek Grace sambil tersenyum.

Ada yang pernah mendengar pepatah, "Sudah jatuh tertimpa tangga"?

Yap. Inilah yang aku rasakan sore ini.

Meskipun kami berdua musuh di dalam politik, tapi Grace adalah wanita yang kucintai sejak zaman SMA.

Rivalitas kami terus berlanjut hingga skala nasional dan tak ada yang menyadari perasaan ini kecuali kami berdua.

Aku keluar dengan langkah gontai sebagai presiden yang tak juga memiliki ibu negara.

Satu-satunya orang yang aku tuju saat itu adalah Radit. Bajingan bangsat yang mesti kuberi pelajaran.

"Mike ! Panggil Radit ke ruangan saya." Perintahku kepada staf kepresidenan.

"Baik pak."

Tak berapa lama kemudian, Radit datang, masih dengan gaya bangganya sebagai ketua BN.

"Permisi Mr Presiden." Ucapnya hormat.

"Langsung saja Dit, saya barusan mendapat kiriman dari intelijen." Ucapku sambil menyodorkan sebuah gambar.

Bocah tengil itu berdiri kaku dengan wajah yang mengeluarkan keringat dingin. Lututnya bergemetar. Mirip seekor anjing kedinginan.

Inilah yang sering disebut sebagai kartu As. Hal yang sangat penting dalam proses negosiasi saling jatuh menjatuhkan.

"Ini konsekuensi jadi ketua BN. Jadi, ancaman itu bukan hanya datang dari para mafia, tapi juga dari mereka yang membencimu." Aku sok menasehati.

"Maafkan saya Mr President, tapii..."

"Sudah sudah. Saya mengerti. Kerjakan saja tugasmu sebaik mungkin. Satu lagi, siapkan satu hp untuk berkomunikasi langsung dengan saya. Bahkan saat tangan kananmu menelfonku, tangan kirimu tidak boleh tau."

"Siap Mr Presiden."

Mr. PresidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang