4: Dinner

508 114 22
                                    

Di umurnya yang keenam belas ini sepertinya penuh akan Jake yang selalu saja berhasil mengganggunya ketika mengerjakan tugas.

Sumpah, deh. Kadang harus Jiya teriakin dulu baru dia mau jalan. Kamarnya berantakan. Tamannya berserakan sampah. Astaga seurak-urakannya Jiya, ia tak akan pernah sanggup memandang kekotoran yang saat ini terjadi di depan matanya.

"Jake! Lo berapa hari sekali sih beres-beres rumah?!" tanya Jiya, sangsi.

"Hari? Gue biasanya sebulan sekali bersihinnya."

DEMI TUHAN DAN SEMESTA ALAM!

Jiya geram banget mendengar jawaban dari Mas Tetangganya ini.

Akhirnya dengan berlandaskan hati nurani yang tertanam di hati, ia pun membantu Jake membersihkan rumah anak itu dengan syarat Jake mengerjakan tugas punya Jiya agar dirasa impas.

Kalau ditanya soal kedua orangtuanya, mereka memang jarang berada di rumah kata Jake. Selalu setiap awal bulan sampai pertengahan, mereka biasa bekerja diluar kota menginap di Hotel. Makanya Jake jadi sering sendirian di rumah yang lumayan megah ini.

"Jake, lo kebiasaan banget, sih. Buang sampah sembarangan gini," omelnya saat menyapu lantai dan menemukan plastik sampah berceceran.

Jake menggeleng, mengangkat kedua tangan. "Sumpah itu bukan gue. Layla selalu mungutin sampah yang gue buang."

"Ajarin dong anjing lo itu, dasar," keluh Jiya, akhirnya dia yang turun tangan. "Layla, lain kali kalo Jake buang sampah gak boleh diambil lagi, ya!"

Jiya mengajarinya sambil duduk bersimpuh. Ia mempraktekkan semuanya di depan Layla. Jake diam-diam memperhatikan gadis mungil itu. Ya, Tuhan kok lucu banget sih gadis satu ini. Merasa gemas, Jake merekam video tingkah laku abnormal Jiya.

Memori ponsel Jake sepertinya penuh dengan video-video yang isinya Jiya saja, deh. Jiya lagi kesal, marah, nangis, teriak, ketawa, ngelawak, semuanya ada tersimpan di ponselnya.

Tiba-tiba, suara pintu rumah terbuka tanpa suara bel. Mama Jake ternyata telah pulang dari kerja lima bulannya. Jiya jantungan, soalnya pakaiannya kelihatan lusuh mana rambutnya juga agak kusut.

"Jake. Bantu Mama—" Tersadar ada Jiya, Mama Jake akhirnya menyapa. "Eh ada Jiya."

Jiya tersenyum tipis. "Halo Tante."

Sementara Jake mulai berdiri dan menyalami tangan Mama nya.

"Lagi main bareng Jake, ya?"

Jiya mengangguk pelan. "Iya, Tante. Sekalian bantuin Jake beresin rumah."

"Kamu, ya," Mama nya berkacak pinggang. "Pasti kalau ditinggal rumahnya selalu berantakan."

Hanya cengiran yang Jake balaskan.

"Makasih ya, Jiya. Mau makan bareng nanti sama Tante? Sekalian nanti bareng sama Papa nya Jake bentar lagi pulang."

"Eh gak apa-apa Tante, gak usah repot-repot."

"Eits, yang bilang repot siapa? Malah tante mau berterima kasih karena udah nemenin Jake terus bantu-bantuin bersih rumah."

"Baik, Tante...."

Jiya masih terasa sungkan dengan ajakan mamanya Jake.

[ O U R S ]

Ya, walau akhirnya dia tetap datang juga ke rumah sebelahnya ini. Dengan perasaan yang sedikit canggung, Jiya bertamu dengan make-up tipis dan baju blouse agar terkesan simpel dan sederhana saja.

Karena pintunya sedang terbuka, Jiya asal masuk saja sambil melangkah pelan, memperlihatkan kesopanannya.

Pertama-tama ia sudah disambut oleh Layla, anjing Jake. Aduh, grogi juga, ya, kalau dibiarin begini terus bisa-bisa badannya basah bermandikan keringat.

Saat mau berbelok, eh sudah ada Jake berdiri di samping anak tangga.

Demi alek, ganteng banget.

Udah gitu, KENAPA DIA MALAH PAKAI TUXEDO, SIH?!

Ini memang ada dresscode nya apa, ya?

"Lo kok pake tuxedo sih, Jake?"

"Emang kenapa?"

"Ya nggak apa-apa, sih. Cuma pakaian gue kelihatan jadi beda sama lo."

"Lo mau pakai tuxedo juga?"

Tengil banget ini orang ganteng satu.

"Bukan gitu, Jeki! Ah udahlah, capek gue ngomong sama lo."

"Ya lagian lo pakai gitu doang udah cantik, kok."

Matanya membeliak, telinganya mendadak tuli, ia sontak merapatkan kedua bibirnya, tak mampu berkata-kata atas pujian ngasal dari Jake.

Dengn muka merah padam, Jiya berjalan mengikuti Jake dari belakang. Ia dituntun ke ruang makan, di sana sudah ada Mama nya Jake yang lagi menyiapkan hidangan untuk disantap bersama. Ada macam-macam makanan sudah tersaji di atas meja, wah gila enak banget kelihatannya.

"Eh, ini ya yang namanya Jiya?" sapa pria paruhbaya dari arah yang berlawanan, terlihat sedang menyiapkan gelas di meja.

Jiya menggarung tengkuknya sambil membungkuk pelan. "Iya Om," katanya diiringi kekehan kecil.

"Have a good time ya di sini, anggap saja seperti rumah sendiri."

"Iya, makasih Om...."

Jiya nggak jago kalau disuruh ngobrol sama orangtua begini. Biasanya dia bakal menjadi convokiller demi cepat-cepat menyudahi percakapan.

"Makanannya masih belum jadi semua nih, Jiya. Main aja dulu sama Jake, ya."

Jiya mengangkat kedua alisnya kemudian merambatkan senyumnya, "I-Iya Tante..."

Jake lalu menggenggam tangan Jiya tanpa aba-aba, gadis itu tertegun sejenak melihat perlakuan laki-laki itu hari ini.

Bukan main, seperti ada yang tidak benar nih dengan hati dan pikirannya. Di pikiran ia merasa kesal, namun di hati ia merasa senang.

Ini kenapa, ya?

[ ].

Ours (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang