3

111 5 0
                                    

Lelaki itu mengecek gawainya berulang kali, dia terlihat gelisah menunggu seseorang.

"Vania tidak dalam kondisi baik-baik saja. Kenapa tadi aku membiarkan dia ke sini sendirian semalam ini? Bagaimana kalau terjadi sesuatu?" sesalnya dalam hati.

Beberapa menit mematung, kini rasa cemas berubah menjadi lega saat ia melihat seorang gadis yang masih memakai helm berjalan cepat dan segera merangkulnya erat. Terlihat jelas bahwa gadis itu belum selesai dengan urusan tangis-menangisnya.

Dheo merangkul balik dan menepuk lembut punggung Vania. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu, tapi begitu Vania datang memeluknya, Dheo tahu bahwa dia adalah tempat ternyaman Vania saat ini.

Dheo membuka pintu ruangan apartemennya dan mengizinkan Vania masuk ke dalam lalu melepas helm Vania seraya merapikan rambut yang terkuncir ekor kuda. "Lain kali, jangan lupa lepas helm begitu turun dari motor..." ujar Dheo.

Dia mengambil air panas dari dispenser dan memasukkan teh kantung tanpa gula ke dalam cangkir yang dipegangnya. Teh yang masih panas disuguhkan di hadapan Vania. Dheo sengaja tidak memberi gula karena tahu Vania memiliki riwayat diabetes dari Neneknya. Dheo adalah pemikir jangka panjang, dia selalu mengusahakan yang terbaik untuk kesehatan mereka berdua. Dia ingin membiasakan hidup sehat bersama Vania agar kelak ketika menua, mereka tidak menderita karena sakit-sakitan atau membuat salah-satunya bersusah payah merawat pasangan yang sakit atau bahkan merepotkan anak-anak mereka nanti.

"Ayo diminum..." pinta Dheo berharap Vania bisa menjadi lebih tenang setelah meminum teh panas buatannya.

Vania meminum teh tersebut pelan, membuat tubuhnya merasa lebih baik dan lebih hangat dari pada sebelumnya. Matanya melirik ke arah tumpukan kertas di meja komputer yang terlihat seperti dalam proses pengerjaan.

"Kamu lagi sibuk, ya?" tanya Vania.

"Enggak..." bohong Dheo tak mau Vania berbalik merisaukannya.

Vania melihat cangkir yang ia pegang. Teringat bagaimana dia membanting secangkir kopi Milik Ayahnya tadi.

"Tadi aku banting cangkir kopi di depan Papa..."

"Lalu? Dimarahi?"

"Ditampar..."

"Pasti ada sebab kamu ngelakuin itu..."

"Iya, aku tadi memergoki Papa keluar dari rumah milik isteri keduanya. Setelah Papa keluar, aku melabrak wanita itu. Aku menamparnya, memakinya sebagai wanita simpanan, lalu meludahi cadarnya. Dia kelihatan jijik dan marah sampai menarik lepas cadarnya..."

Sejenak Vania berhenti dan menatap ke arah mata Dheo yang penasaran.

"Heran, kan? Seorang wanita bercadar tega merebut pasangan orang lain. Memang benar, baik tidaknya seseorang tak bisa kaulihat hanya dari pakaian yang mereka kenakan. Aku tidak percaya bisa memiliki Tuhan yang sama dengannya," lanjutnya.

"Iya memang seperti itu. Terlepas dari cadar yang ia kenakan, mari salahkan orangnya bukan cadarnya. Tidak usah terlalu fokus dengan apa yang dia kenakan."

Vania terdiam mendengar kalimat Dheo. Memang benar apa yang dikatakan Dheo, dia tidak boleh menyalahkan wanita itu berdasar apa yang dikenakannya.

Dheo memegang erat tangan Vania. "Semua agama itu baik, begitupun Islam yang kamu anut. Kamu hanya tidak menyukai wanita bercadar itu. Mereka terlihat alim tapi menyakiti hati kamu, bukan berarti mereka merepresentasikan Islam. Kamu boleh kecewa dengan orang buruk yang menganut agamamu, tapi menyalahkam Tuhan untuk itu? Aku rasa itu salah."

Vania mengangguk pelan, dia menyadari telah berlebihan dalam berbicara mengenai cadar yang wanita itu kenakan.

"Yasudah, ayo aku antar pulang, sepeda motormu biar di sini saja. Orang tuamu pasti khawatir, lagi pula ini sudah malam," tawar Dheo namun ditolak oleh Vania dengan gelengan kepala.

"Aku gak mau tidur di rumah, Dheo. Terasa sesak..."

"Lalu?"

"Aku bisa tidur di sofa..." pinta Vania sambil menunjuk ke arah sofa di depan kamar Dheo.

Dheo kebingungan menanggapi permintaan pacarnya. Dia akan terlihat jahat bila tetap mengusir Vania pergi, tapi dia tidak akan terlihat baik dan bertanggung jawab di mata orang tua Vania jika mengizinkan Vania tinggal.

"Yasudah..." ucap Dheo sambil mengusap rambut Vania.

Dia keluar dari ruangannya sambil memencet beberapa tombol di gawai yang ia pegang dan menghubungi Ibu Vania. Tidak butuh lama, wanita itu mengangkat teleponnya.

"Halo, assalamualaikum, nak Dheo..." sapa wanita yang ia telepon

"Halo, waalaikumsalam, Mama. Sebelumnya Dheo mau kasih kabar ke Mama kalau ini tadi Vania ke apartemen Dheo. Dia kelihatan sedih dan menceritakan apa yang barusan terjadi di rumah..."

"Syukurlah kalau Vania ada di situ. Lalu bagaimana?"

"Tadinya Dheo mau mengantar Vania pulang, tapi Vania ngotot tidak mau pulang. Dia bilang bisa tidur di sofa. Dheo bingung harus bagaimana, Ma..."

"Yasudah tidak apa-apa, Nak. Mama percaya sama kamu, tapi jangan bilang ke Papanya Vania, ya. Papanya bisa marah besar jika tahu Vania menginap di rumah seorang lelaki yang bukan suaminya. Mama minta tolong sekali, jaga Vania ya. Vania memang sedang syok berat dan butuh waktu untuk menerima semua ini. Jangan rusak kepercayaan Mama, ya..."

"Iya Ma... Maafin Dheo ya belum bisa berbuat banyak untuk Mama sama Vania."

"Sudahh, tidak apa. Yang penting, jaga Vania. Mama lega dia di sana, bukan ke tempat lain, soalnya dia lupa membawa dompetnya. Tolong ya Nak. Kalu dia butuh sesuatu, pinjami uang kamu dulu. Nanti uangnya Mama ganti begitu kita ketemu..."

"Ma, Dheo sudah kerja dan Vania itu pacar Dheo. Tidak usah merasa sungkan masalah uang. Dheo juga terima kasih, Mama sudah percaya sama Dheo..."

"Terima kasih ,Nak. Tetap kirim kabar, ya. Mama tutup dulu teleponnya. Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam..."

Dheo yang membuka pintu terkejut ketika Vania sudah ada di ambang pintu.

"Dheo, ada charger, gak? Ponselku mati tapi lupa bawa charger."

"Kan charger ponsel kita beda, Van..." jawab Dheo sambil tersenyum. Vania tetaplah Vania yang ceroboh. Saat terburu-buru dia selalu lupa membawa barang-barang yang penting.

"Aduh, Mama pasti khawatir. Harusnya tadi aku bilang pergi ke rumah Amel atau Khayla."

"Mau aku aja yang hubungi Mama?"

"Hah? Janganlah, nanti Mama marah kalau tahu aku ada di sini," protes Vania yang ditertawakan Dheo.

"Sudah aku izinin tadi ke Mama." Jawaban Dheo membuat Vania terkejut.

"Lalu?"

"Kata Mama, aku disuruh usir kamu..." jawab Dheo.

Vania mondar mandir mencari akal. Sepertinya, dia sedang mempersiapkan jawaban apa yang akan diberikan ke Mamanya. Dia memang sedang marah, tapi ke Papa bukan Mamanya. Dia tidak ingin mendapat omelan dari Mamanya.

"Bercanda, Van. Kata Mama, iya kamu diizinin nginep sini. Sudah gak usah khawatir! Kamu tidur aja di kasur, aku tidur di sofa. Gak elit rasanya kalau tuan putri tidur di sofa," jelas Dheo membuat Vania sedikit lega. Kini dia tidak perlu berbohong ke Mamanya atau membuat alasan.

VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang