5

83 3 0
                                    

"Van? Kamu baik-baik aja, kan?"

"Yaeah, I'm okay..." Jawaban yang Vania ucap bertolak belakang dengan realita. Keraguan masih bersemayam rapi dalam hatinya. Untuk sejenak, dia berharap waktu dapat berhenti berputar sehingga ia tak perlu turun dari mobil dan melangkahkan kakinya ke rumah.

Dua sejoli yang sudah turun dari mobil kini saling bertatap mata. Si perempuan bertanya dalam hati, apakah semua akan baik-baik saja, sementara si lelaki bertanya dalam hati, apakah dia akan baik-baik saja.

"Ayo..." ucap Dheo lalu meraih tangan Vania dan menggenggamnya dengan yakin. Tangan hangat yang Dheo berikan seolah menjadi tiang penyangga bagi Vania, jikalau sewaktu-waktu dirinya ambruk dalam angan terburuknya.

Belum sempat Vania menyentuh gagang pintu rumah, ada sosok Ibu yang sudah membukakan pintu untuknya.

"Assalamualaikum..." salam Dheo lalu mencium tangan wanita yang tengah berdiri di depannya diikuti Vania.

"Waalaikumsalam..."

Rini menatap Vania sebentar sebelum ia mempersilahkan mereka bedua masuk ke dalam rumah. Ada perasaan bersalah di dalam hati mereka saat kedua pasang mata Ibu dan anak itu saling bertatap.

Suasananya sedikit canggung. Vania terlihat sedikit awas. Beberapa kali dia melirik sekitar seolah hendak memastikan sesuatu. Rini yang peka dengan gerak-gerik anaknya mulai tersenyum. "Papa tidur di luar malam ini, jangan gelisah. Ayo Dheo, duduk dulu."

Vania mengikuti langkah ibunya ke dapur. Mereka mambuat 3 cangkir teh dengan dua diantaranya tanpa gula. Mata Vania tertuju pada pecahan cangkir dalam wadah plastik yang tergeletak di samping tempat sampah.

"Yang bersihin cangkir pecah kemarin siapa, Ma?"

"Ibu peri..." jawab ibunya tersenyum sambil meletakkan cangkir ke atas nampan yang Vania bawa.

"Aku lebih memilih untuk menamparnya daripada membanting cangkir kepunyaannya jika tahu Mama yang akan membersihkan pecahannya," sesal Vania dalam hati.

"Tehnya diminum dulu, Nak..." ucap Rini sambil memindahkan teh ke atas meja.

"Terima kasih ya, Nak Dheo sudah menjaga Vania..." bisik Ibu Vania saat putrinya mengembalikan nampan ke dapur.

Mereka bertiga bercakap ringan dan saling bercanda seolah masalah kemarin tidak pernah ada. Untuk sejenak, beban dalam hati mengalah dan membiarkan canda tawa mendominasi malam itu.

"Oh iya, kabar Ayah sama Ibu bagaimana, Dheo?"

"Alhamdulillah baik, Ma. Kemarin lusa Dheo sempat mengunjungi mereka pas libur kerja."

"Nanyain aku, gak?" cletuk Vania

"Kepo banget, sih." sahut Ibunya.

"Memang Mama tahu, kepo itu apa?"

"Iya tau, kan mama sering beli di Mbak Lilis."

"Itu klepon, Ma!"

"Iya, mereka sempat nanyain kamu, kok. Sama nanyain kapan Vania siap dihalalin." Vania tersipu malu mendengar jawaban Dheo, sedangkan ibunya hanya tersenyum menggoda ke arah Vania.

"Ma, besok Vania berangkat, ya..."

"Besok?!" keduanya terkejut mendengar pernyataan Vania.

***

Rini tidur di kamar anaknya malam ini. Sudah lama rasanya mereka tidak tidur sekamar, mungkin terakhir kali ketika Vania berusia 7 atau 8 tahun. Anak gadisnya tidak terlalu senang ketika kamarnya dimasuki oleh orang lain, termasuk orang tuanya. Untung saja keluarga Vania menjunjung tinggi privasi, sehingga tanpa diperingatkan pun tidak ada yang masuk ke kamar Vania tanpa ijin.

VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang