4

112 4 0
                                    

Sinar jingga sang surya merembet masuk ke dalam kelopak mata yang tengah terpejam. Gadis itu membuka mata secara perlahan dan mengamati sekitarnya.

"Ternyata bukan mimpi..." gumannya.

Jendela besar di samping kasur yang ia tiduri memberi tunjuk pemandangan kota dari ketinggian, sebuah tampilan yang hanya bisa dilihat jika dia menyewa ruangan di sebuah Apartemen. Mata bulan sabit Vania menatap jendela. Tubuhnya memungut nyawa yang berceceran setelah tidur panjangnya.

Seperti sudah lupa dengan kejadian kemarin, Vania tersenyum lebar. Pipinya memerah. Bangun dari kasur milik Dheo membuatnya malu dan membayangkan momen di mana mereka sudah menikah nantinya. Dia akan tidur di situ setiap hari sambil memeluk Dheo dan menikmati pemandangan yang indah setiap pagi. Ah, senangnya!

"Ngapain senyum-senyum sendiri?" tanya Dheo mengejutkan Vania.

Vania yang malu segera menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut.

"Aku masih ngantuk. Sudah sana berangkat kerja!" Teriak Vania dari dalam selimut.

Dheo menarik selimut yang dikenakan Vania sambil tertawa.

"Sekarang sudah sore. Aku tadi pulang lebih awal larena khawatir sama kamu,"

"HAH?! Sore???" Vania tersentak. Nyawa yang tadinya masih setengah kini langsung terisi penuh. Dia bergegas duduk dan melihat ke arah jendela kamar Dheo. "Aku kira pasca subuh, ternyata pra maghrib" ujarnya dengan polos.

"Yang benar saja, macet begitu masa subuh"

"Benar juga..."

"Tuh, lihat sarapan yang aku siapin buat kamu di meja sudah dingin. Tadi aku mau bangunin kamu tapi gak tega..."

"Iya, aku lapar. Aku makan sekarang aja, deh."

"Makan yang lain aja, itu nasi gorengnya sudah dingin. Atau mau aku angetin?"

"Gak usah, gak apa-apa. Anggap aja hukuman karena bangun kesorean. Lagi pula aku terbiasa makan nasi dingin setiap kali melakukan perjalanan jauh." Vania bergegas turun dari kasur dan menyantap nasi goreng buatan Dheo yang ada di atas meja.

"Hmm, sudah berapa rakaat yang kamu lewati hari ini?" Tanya Dheo.

"Cuma dikit, gak apa-apa," jawab Vania menunggu makanannya tertelan.

"Vania..."

"Hmm?"

"Sudah lama kita pacaran. Dosanya makin numpuk loh...

Aku pengen hijrah dan memulai segalanya yang baru sama kamu dari awal.

Akhir tahun nikah, yuk?"

Pertanyaan Dheo membuat Vania kaget dan berhenti mengunyah. Sekarang adalah bulan September, berarti...

"Jawab nanti aja..." tambah Dheo tidak mau menginterupsi Vania yang asik makan.

"Kamu serius?" Vania bertanya-tanya dalam hatinya, angin apa yang berhembus semalam sehingga dia dilamar begitu bangun tidur. Perut yang tadinya lapar kini tiba-tiba terisi penuh. Dia menyudahi makannya yang masih bersisa.

"Ya iya, memangnya bisa ajakan menikah dibuat bercanda?"

"Dheo, dengan kondisi keluargaku yang seperti ini, aku masih ragu mau jawab apa..."

"Masih ada waktu, Van..." Dheo tersenyum menggenggam tangan Vania. Dia tahu Vania sedikit terkejut dengan pertanyaan yang dirasa terlalu buru-buru. Lagi pula Vania baru saja mengalami konflik batin dengan Ayahnya, si cinta pertama. Tidak mungkin kejadian itu tidak meninggalkan sedikitpun berkas trauma.

"Next trip ke mana?" tanya Dheo mengalihkan arah pembicaraan. Pacarnya adalah seorang traveller dan penulis blog. Jadi, bisa dipastikan Vania selalu memiliki rencana perjalanan yang cukup banyak dalam satu kurun waktu.

"Salah satu perkampungan di Flores..."

Rencananya bulan November, sih. Tapi karena konflik kemarin aku ingin mempercepat keberangkatan. Minggu ini aku bakal berangkat. Kebetulan otakku juga butuh rehat.

Aku sudah ada kenalan online di sana, seorang wanita. Dia guru dan mengabdi di desa tersebut.

Selama 1 bulan aku akan bantu dia, dan tinggal di rumahnya yang sudah disediakan oleh warga. Aku belum konfirmasi kalau jadwal pemberangkatanku dipercepat, tapi aku rasa dia bakal setuju sih..."

"1 bulan? Kok lebih lama dari pada biasanya?"

"Aku ingin tahu juga rasanya mengabdi di sana. Melakukan hal yang baik bisa membuat kita merasa jadi lebih baik, kan?"

"Tumben bijak? Rasanya sih ini akan jadi perjalanan terakhir pas kamu melajang..."

"Emmm, mungkin." Vania tersenyum malu.

"Good luck, ya. Semoga kamu dipertemukan dengan orang-orang baik di sana..."

Tidak terasa, hampir satu jam mereka berbincang ria. Vania yang belum mandi sedari kemarin izin masuk kamar mandi dan segera membersihkan dirinya, mengguyur seluruh tubuhnya dengan air yang meluncur dari shower. Sebelumnya, Dheo telah menyiapkan kaos miliknya untuk Vania karena dia tahu Vania tidak membawa baju ganti. Walupun kebesaran, setidaknya dia bisa mengganti baju yang bercampur keringat dan air mata akibat konflik kemarin.

VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang