Sesuai ucapannya, Yudhan mengantar Bencis ke depan pintu gerbang rumah milik Diandra.
"Cepetan masuk," katanya sembari memaksa Bencis turun dari motornya.
Bencis, selaku pihak yang dikendalikan layaknya seekor sapi, bergeming di jok belakang. Selain titah Yudhan yang penuh paksaan, dia tidak tahu mengapa dia bersedia dibonceng dan menemui Diandra di rumahnya.
"Masuk!" ulang Yudhan yang mulai kehilangan kesabaran. Dia memarkirkan motornya, kemudian menarik Bencis turun. Gerbang rumah Diandra tidak dikunci, Yudhan menerobos masuk tanpa permisi. Dia berjalan lurus ke arah pintu utama dan mengetuknya tiga kali.
"Ndra?" panggilnya, sembari mengintip ke arah jendela. Bencis mengekor di belakang Yudhan dengan patuh. Hanya menginjakkan kaki di rumah Diandra berhasil membuat bulu kuduknya meremang. Tangannya mendingin di belakang punggungnya. Secara keseluruhan, mereka mirip pengacau yang mendobrak masuk ketimbang teman yang kebetulan mampir.
"Ya?" suara Diandra diiringi derap kaki terdengar mendekati pintu. Gerendel ditarik, pintu dibuka dari dalam. "Ngapain, Yud dan..." dia tak meneruskan ucapannya.
Bencis memilih menatap lantai, malu karena mau-mau saja mengikuti titah Yudhan. Seharusnya dia menolaknya sejak awal.
"Yo, Ndra," sapa Yudhan sembari tersenyum. "Sibuk?"
Diandra menggeleng ragu. "Kenapa?" tanyanya, sedikit waspada. Dia menunggu jawaban Yudhan sesekali mengawasi gerak-gerik Bencis. Pandangan mereka bertemu saat Bencis iseng mendongakkan kepalanya.
"Dia mau ngomong," balas Yudhan, menunjuk Bencis dengan isyarat matanya.
Diandra mengernyit bingung. Setahunya, dia tidak punya urusan apapun untuk didiskusikan bersama Bencis. Dia menganggap hubungan mereka berakhir setelah kata 'tong sampah' terucap dengan kejam dari mulut Bencis. Tentu, dia sangat tersinggung. Siapa yang tak tersinggung jika kehadirannya hanya sebatas pelengkap tak penting di kehidupan Bencis?
"Tentang?" selak Diandra kaku.
Bencis membeku di tempatnya. Rupanya, Diandra benar-benar marah. Dia sedikit keterlaluan kali ini. "Semuanya," balas Bencis perlahan. Dia menghembuskan napas panjang sebelum menatap Diandra tepat di matanya. "Gue akan jelasin semuanya."
"Soal apa? Gue nggak punya urusan sama lu," ucapnya tak kalah kering.
"Fine, gue minta maaf. Gue salah. Tapi dengerin gue dulu." Bencis melewati Yudhan dan beringsut mendekati Diandra. "Tolong, biarin gue masuk." Bencis meraih tangan Diandra perlahan, mengusapnya lembut, kemudian buru-buru melepaskannya. Dia tak mungkin berlama-lama melakukan kontak fisik itu karena khawatir keluarga Diandra akan melihatnya.
Diperlakukan sehalus demikian tentu saja membuat Diandra jatuh iba. Dia mengangguk kemudian mempersilahkan Yudhan dan Bencis masuk ke kamarnya. Mereka berdua melewati keluarga Diandra yang tampak asyik menonton televisi di ruang tengah.
"Duduk aja, gue ambilin minum bentar." Meski dua tamunya bukan orang yang diharapkan untuk datang, Diandra tetap berjalan ke dapur dan mengambil dua botol air mineral dari dalam kulkas. Dia meletakkannya di atas nampan bersama kripik pisang dan kue kering.
"Ada tamu, Dek?" tanya Ibunya yang kebetulan baru keluar dari kamar mandi.
"Iya Bu," balasnya sembari mengangkat nampan.
"Suruh makan, Dek. Masih ada sisa sayur asem," ucap Ibunya, menunjuk tudung saji yang tertutup rapat. Keluarganya memang baru selesai makan malam sekitar dua puluh menit yang lalu.
"Nggak usah lah, Bu. Mereka mungkin nggak lama," kata Diandra yang diiyakan Ibunya.
Diandra buru-buru kembali ke kamarnya sembari mencoba menerka-nerka apa yang akan diucapkan Bencis padanya. Dia masuk kamar, kemudian menutup pintu di belakangnya. "Mau ngomong apa?" tanyanya sembari meletakkan nampan ke meja belajar. Dia sengaja duduk dekat Bencis di atas kasurnya.
Bencis mencodongkan tubuhnya ke arah Diandra. Yudhan cukup tahu diri untuk menyingkir ke pojok ruangan, rela menjadi obat nyamuk asalkan urusan Bencis dan calon cememew-nya selesai.
Sebelum mengucapkan sepatah kata pun, Bencis beringsut mendekati Diandra. Dia sama sekali tak menggubris tatapan Diandra yang tampak makin bingung dengan sikapnya.
"Cis?" panggil Diandra, menunggu sebuah penjelasan. Dia tidak tahu mengapa Bencis bisa berubah pikiran dalam waktu kurang dari 1x24 jam.
Bencis sengaja menyingkap lengan kaos oblongnya. Diandra mengikuti setiap gerakan Bencis dengan seksama, mengamati tanpa banyak bicara. Hingga matanya tak sengaja menangkap bekas goresan di lengan Bencis. Sedari awal dia tak menyadarinya karena tertutup dengan lengan kaos.
Tangannya bergerak cepat untuk menyentuhnya. "Ini kenapa?" tanyanya, mencondongkan kepala dan mengamati lukanya lebih dekat.
"Pulang sekolah tadi lu tanya soal isi pesan gue kan?" balas Bencis. "Kenapa gue tiba-tiba bilang pengen mati."
Diandra mengangguk, mulai menyusun puzzle dari informasi sepotong demi sepotong yang diterimanya.
"Sebenarnya, gue bingung mikirin lu."
Diandra terperangah mendengarnya. Dia tak menyangka Bencis akan mengucapkan kalimat yang kontradiktif, jauh berbeda dengan 'tong sampah' yang dia ucapkan sebelumnya. "Maksud lu?"
"Lu teman gue, Ndra."
"Lalu?" potong Diandra cepat.
"Gue tahu lu bajingan."
"Lu nggak perlu memperjelasnya lagi. Lu bilang sendiri tadi, kalau gue bajingan karena nolak Panty."
"Iya. Harusnya percakapan kita berhenti di situ."
"Hah? Gue nggak paham." Diandra mengerutkan alisnya bingung.
"Ndra, lu suka gue?"
"Nggak," elak Diandra singkat.
"Lu suka gue," ucap Bencis. Dia tahu Diandra punya rasa untuknya. Sikapnya aneh akhir-akhir ini.
"Dan lu nggak suka gue," tuduh Diandra. "Sejak awal gue harusnya ngusir kalian berdua." Dia melirik Yudhan yang pura-pura membelakanginya.
"Siapa bilang?"
"Lu yang bilang sendiri. Gue cuma tong sampah lu, karena gue bajingan dan lu nggak suka bajingan. Itu kan yang lo omongin ke gue? Inget nggak lu?" sindir Diandra datar. Dia menarik tangannya dari lengan Bencis, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Namun tiba-tiba Bencis menarik pipinya gemas. Mau tak mau Diandra menoleh ke arahnya. "Apa?" tanya Diandra jengkel.
"Ndra, serius gue ulang. Lu suka gue?" tanya Bencis, menahan kepala Diandra bertahan di posisinya. Dia harus mengamati mata Diandra untuk menilai kesungguhannya.
Dihujani pertanyaan demikian dengan tangan Bencis di pipinya sungguh ujian berat bagi Diandra. Dia ingin mengucapkan penolakan, sama seperti sebelumnya. Sayangnya, dia tak sanggup melakukannya. Dia ingin jujur mengakui perasaannya, membiarkan Bencis tahu meski dia jelas akan menampiknya mentah-mentah. "Ya," balas Diandra singkat sembari menggenggam tangan Bencis di pipinya. "Gue suka lu, Cis."
Yudhan terbatuk hebat mendengar pengakuan Diandra. Air yang semula ingin diminumnya tak sengaja masuk ke katup yang salah, dia tersedak. Diandra melirik Yudhan sekilas sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke arah Bencis.
Dia bersiap dengan sebuah penolakan ketika Bencis berniat mengucapkan apa yang dirasakannya. Harusnya dia terbiasa, toh Bencis pernah terang-terangan menolaknya.
"Ndra, gue selalu mikirin lu."
###
Selamat malam mingguan, kamu, jones :v
KAMU SEDANG MEMBACA
Monotonous
Random[Boyslove] Saat hidup standar Bencis diadu dengan hidup penuh warna Diandra, siapa yang kena seleksi alam lebih dulu? Well, dunia itu rumit. Sama seperti isi otak dua manusia dengan kepribadian bagai angin dan air. #'Monotonous' adalah season kedu...