"Apa yang dibutuhkan alam semesta, Dra?" Lapangan ramai oleh gelak tawa kesembilan setan yang bingung harus ngapain selain main bola saat jam istirahat. Diandra dan si Bencis a.k.a Fuad kebetulan sedang vakum dan memilih duduk ngemper di pinggir lapangan.
"Alam semesta? Hm, air mungkin." Diandra, yang sama sekali gak menyangka pertanyaan Bencis bisa seaneh itu, memilih menjawab sekenanya. Dia gak terlalu suka mikir lama-lama. Spontanitas aja lah cukup.
"Anjir, gak puitis banget sih lo." Tegur Bencis. Dia bertanya serius, eh si Diandra malah jawab gitu aja. Gak pakai dijelasin maksudnya lagi.
"Emang lo nyuruh gue jawab apa bikin puisi?" Diandra gak terima dikatain oleh satu-satunya orang yang melambai di komplotannya.
Tawa Panji di depan gawang samar-samar didengar Bencis. "Mati aja lo, mati." Ucapnya. Diandra emang gak bisa diajak ngomong serius.
"Dasar, gak jelas. Lagian apa urgensi lo tanya begituan? Kayak gue sohibnya semesta aja." Kata Diandra tenang. Tiba-tiba bola menggelinding di kakinya. Dia berdiri kemudian menendangnya ke arah Yudhan. Bencis sama sekali tak bergeming, masih fokus ke isi otaknya yang kosong.
"Gue bosen." Tiba-tiba dia berkata seperti itu ke Diandra yang sibuk mengamati barisan semut di kakinya. Dia juga gak tahu kenapa dia harus jujur ke Diandra.
"Kenapa lo bosen?" Diandra membalas ucapan Bencis dengan nada ala guru matematika yang bertanya dimana x.
"Gue gak punya hobi. Hidup gue ya gitu-gitu aja, gak ada tujuan." Bencis menendang kerikil kecil yang tak berdosa ke tengah lapangan. Seandainya kerikil itu bisa bicara, mungkin dia akan mengutuk Bencis jadi batu. Biar Bencis tahu gimana rasanya jadi dia. Puas?
"Ya cari hobi, gampang kan?" Balas Diandra.
"Gampang, palalu. Kalau gampang dari dulu gue juga udah nemu kali."
"Main aja noh sama mereka." Diandra yang malas meladeni tingkah Bencis menunjuk gerombolan orang gila dengan ujung matanya.
"Lu aja sana coba." Bencis melempar saran Diandra kembali ke empunya. Dia udah stres, jadi gak butuh lagi pemicu stres.
"Ogah, makasih. Lihat aja udah eneg." Jawab Diandra sarkas, gimana gak, dia ketemu mereka hampir setiap hari kecuali hari Minggu karena libur. Bukan bosen lagi namanya, eneg iya.
"Emang lu punya hobi? Kok gue gak pernah lihat lo stres sih." Kalimat ini murni diucapkan Bencis dengan kedengkian yang tersimpan rapi dalam lubuk hatinya.
Diandra tersenyum tipis. Tipiiiis sekali. "Apa kalau gue punya masalah gue berhak ngamuk kayak Hulk?" Katanya, mendorong kerikil ke celah diantara dua paving yang merenggang.
"Gak gitu juga kale. Tapi kalau lu maksa jadi Hulk ya, silahkan." Bencis melirik teman satu komplotannya itu dengan ekor matanya. Diandra terkenal diantara mereka bersembilan karena sikap tenangnya. Membayangkan dia jadi Hulk yang temperamental sedikit membuat Bencis geli. Diandra dan Hulk, huh? Gak jodoh, batin Bencis. Tanpa sengaja dia tertawa kecil sembari menutup mulutnya dengan sebelah tangan, 11-12 sama banci yang ngamen di perempatan jalan.
Melihat itu, Diandra enggan berkomentar. Bukan urusannya kan. Biarkan Bencis tetap jadi Bencis,dan selamanya akan jadi Bencis yang itu-itu aja.
###
Sepulang sekolah, Bencis kepikiran ucapan Diandra. Dia harus segera menemukan hobi sebelum umurnya bertambah tua dan harinya berlalu begitu aja. Katakan tidak pada ma-de-su!
Dia akhirnya menengok ke meja belajarnya, jauh ke pojok, sampai benda segi empat berwarna hitam pekat memenuhi fokus penglihatannya. Apa dia bisa menjadikan "baca komik" dan "hobi potensial" dalam satu kalimat baku? Atau "lihat bokep" dan "hobi ajib" ke dalam sebait puisi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Monotonous
De Todo[Boyslove] Saat hidup standar Bencis diadu dengan hidup penuh warna Diandra, siapa yang kena seleksi alam lebih dulu? Well, dunia itu rumit. Sama seperti isi otak dua manusia dengan kepribadian bagai angin dan air. #'Monotonous' adalah season kedu...