7. Peraga Potensial

562 100 28
                                    

Sabtu yang telah dijanjikan dengan olahraga tiba-tiba berganti haluan. Bioskop. Diandra ingin ke bioskop. Nonton film. Makan popcorn bawang. Minum Coca-cola. Ditemani Bencis, seorang.

"Gue gak bawa apa-apa, Ndra."

Bencis menatapnya bingung begitu Diandra mengutarakan maksudnya. Masa, batinnya dongkol, gue harus pakai boxer ke bioskop? Memang, tak ada yang salah. Tapi ya, aneh.

"Gue traktir," sambar Diandra, setengah memaksa. Sejak awal, dia memang berdandan untuk ke mall bukannya main basket. Dengan kemeja lengan pendek dan jeans setengah lutut, lebih tepat mengatakannya 'berlebihan' daripada rapi. Apa-apaan kemeja batik ala Bapak-bapak itu, hah? Mau kondangan atau minta disunat ulang?

"Lu gak liat betapa 'gembel'-nya gue?" Bencis menunjuk dadanya sendiri, menyuruh Diandra fokus pada kostumnya.

"Cuek aja," balasnya sembari menyampirkan jaket yang digenggamnya ke bahu Bencis. "Gue pinjemin jaket. Buruan pakai."

"Terus sepeda onta gue?"

Diandra melirik kanan-kiri. Mendadak dia teringat sesuatu. "Titipin ke pos satpam, nanti kan bisa diambil. Repot amat idup lu."

Dikatain begitu membuat Bencis akhirnya pasrah. "Terserah deh, ngikut." Kemudian menuntun sepeda ontanya ke arah pos satpam yang dibangun tepat di sebelah gerbang utama.

Setelah nego-nego singkat, diterimalah dengan tangan terbuka sepeda Bencis di pos yang buka 24jam itu. Bencis langsung naik ke jok belakang Diandra, berpegangan pada kedua bahu pak sopir, dan menepukmya singkat. "Ayo, Nd…"

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Diandra tahu-tahu 'menerbangkan' sepeda motornya membelah keramaian jam pulang kantor.

"HOI, DIANDRA! BELAKANG INI MASIH ANAK MANUSIA. LU PELAN DIKIT KENAPA!" Teriak Bencis pontang-panting, melawan terpaan angin yang kentara sekali ingin menelannya bulat-bulat. Pegangan tangannya berubah menjadi cengkraman, kalau lebih tega dia bahkan bisa mencekik leher Diandra.

Diandra, pak sopir yang gagal seleksi MotoGP tingkat RT itu, menanggapi keluhan Bencis dengan tawa. "Biar cepet sampai," katanya.

"Sampai neraka," tandas Bencis tanpa ampun. Dia makin ingin semaput saat Diandra tanpa rasa gentar menyusup di antara barisan truk dan mobil yang berjalan agak lambat. Intinya, Bencis siap jadi jenazah kalau memang takdir berkata begitu. Oh, tentu, dia akan mengajak Diandra turut serta. Memang apa yang lebih nikmat daripada masuk neraka bersama? Biar impas.

###

Bencis tertawa terpingkal-pingkal. Warkop DKI selalu punya vibe untuk membuat penonton tertawa dan kencing di celana secara bersamaan. Diandra di sebelahnya tersenyum, menikmati hasil rekomendasi filmnya. Kalau Bencis senang, dia malah senang kuadrat. 

"Enak kan? Daripada main basket."

Bencis balas menatapnya. "Gue baru tahu lu plin-plan," katanya. "Gue pengen diajari basket, bukan nonton. Nyesel gue Sabtu sore gini diajakin mentelengin layar."

Jelas. Itu sebuah kebohongan. Mana ada orang nyesel yang ketawa renyah sampai lupa sekitar?

Kali ini, giliran Diandra yang menempeleng kepala Bencis main-main. "Sialan lu. Pulang jalan kaki sana," bisiknya di dekat telinga Bencis. Takut suaranya tak terdengar.

Mendengar itu, Bencis menarik leher Diandra paksa. "Gue bakar motor lu," ancamnya main-main sembari mencekik leher Diandra.

Diandra tertawa, menahan tangan Bencis agar tak mencekiknya. "Ampun. Gue traktir makan deh abis ini. Gimana?" tanyanya, sebuah pengalihan topik yang mulus untuk menahan orang lain tetap tinggal.

Bencis menempelkan dahinya pada dahi Diandra. "Beneeer?" ulangnya, memastikan ajakan Diandra bukan jebakan Batman.

Ditatap di mata, dengan leher dipiting, dan dahi yang bersentuhan sukses membuat Diandra berkedip cepat. "Bener," katanya singkat. Berusaha dilepasnya tangan Bencis dari lehernya.

Sayang, ditolak. Bencis masih setia memitingnya. Pun tatapan mereka yang itu-itu saja.

"Lepasin. Gue baper," guraunya, setengah jujur setengah fiksi. Diandra merasa aneh akhir-akhir ini. Entah itu karena salah makan atau gimana, dia rasa ada yang diam-diam mengusiknya.

"Cupu," balas Bencis, tertawa kecil namun tak terpengaruh pada kalimat Diandra. Dia sedang dan akan mempertahankan posisi mereka selama mungkin. Lucu aja lihat ekspresi panik si Diandra. Bisa dipahami, batin Bencis, dia kan bukan homo.

Posisi duduk mereka di bangku paling belakang, gelap-gelapan, tanpa khawatir diawasi orang lain membuat Diandra terbawa suasana. Apalagi jarak bibirnya yang tinggal satu langkah lagi. Yak, dia pasrah.

Maka, terjadilah.

Sebuah definisi mencumbu anak manusia yang sesungguhnya.

"Manis..." panggilnya perlahan. Mata Bencis mengingatkan Diandra pada kucing anggora tetangganya. Bencis menatapnya bingung. Siapa Manis?

Sebelum Bencis mengantongi jawabannya, tangan Diandra tahu-tahu memegang bahunya lembut, sementara wajahnya mendekat tak sabar. Bibirnya dia tubrukkan pada bibir Bencis, menekannya rakus, minta disatukan.

Tak juga mendapat tanggapan, Diandra menggeser tangannya ke belakang kepala Bencis, lalu menariknya mendekat. Dia sudah lupa predikat 'bukan homo' yang dia sematkan sendiri pada dirinya. Kepalang basah. Ayo, batinnya menyemangati. Dia seolah diajak gila-gilaan dengan bibir Bencis.

"Ndra," panggil Bencis perlahan. Masih cukup tahu diri mereka di mana. Benar. Bukan ciuman yang membuat dia kaget, namun kenyataan bahwa bioskop adalah salah satu fasilitas umum yang tak sepatutnya dipakai untuk bercumbu. Kalau memang ingin bercumbu, setidaknya lakukanlah sampai puas di kamarnya.

"Ssst.." bukannya menanggapi dan sadar diri, Diandra justru mengajak Bencis menanggapi ciumannya. Pakai acara 'ssst' segala pula.

"Kita lagi di luar," balas Bencis, mengingatkan.

"Satu kali," tawar Diandra, layaknya menawar tempe di Abang sayur.

Bencis melonggarkan pitingannya, kemudian membebaskan wajahnya dari kungkungan Diandra. "Ini tempat umum," peringatnya sembari memasukkan satu popcorn ke mulut Diandra yang melongo.

Diandra ingin merespon, namun urung. Mulutnya menutup dan memilih mengunyah popcorn pemberian Bencis dengan tenang.

"Nah, bagus."

Bencis memasukkan popcorn-nya lagi ke mulut Diandra.

Diandra tersenyum kecil. Perlahan melupakan penolakan Bencis beberapa detik yang lalu. "Lu risih?" tanyanya terus terang. Dia bukan homo, dan sepertinya Bencis juga bukan. Belum pernah didengarnya selentingan perihal Bencis jalan sama cowok lain.

Bencis menggeleng. "Biasa, gak ada kesan apapun."

Tuh kan, batin Diandra terpaksa gigit jari. Satu-satunya yang baper akhirnya hanya Diandra. Buktinya, Bencis masih sama tenangnya dengan biasanya. Kelihatan tak terusik dengan perlakuannya barusan.

Karma nih pasti, batinnya lagi. Bayangan Panty mendadak terlintas di otaknya. Bagaimana dia menolaknya mentah-mentah, menyepelekan orientasi seksualnya, juga pilihannya yang tidak tepat.

Dan akhirnya… yak, semesta memukul bola itu kembali padanya. Atau bahkan bonus satu bola lagi?

"Gue gak masalah dicium siapapun. Selama mulutnya wangi dan dia ngerti caranya nyium orang. Anggep aja latihan buat pacar gue entar."

Latihan.

Rupanya, Diandra tak lebih dari calon peraga potensial di mata Bencis.

"Serius?"

"Yap. Apalagi sekarang Yudhan lagi vakum, jadi gue butuh orang lain. Lu mau?"

Apa pula maksudnya ini? Yudhan…

Duelah, Diandra sampai lupa cara berkata-kata. Dia hanya mampu mengalihkan matanya kembali ke layar raksasa di depannya, menerima suapan popcorn Bencis dengan lesu.

###

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa vote dan comment :v

MonotonousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang