3. Basket dan Barongsai

957 146 50
                                    

Sesuai perkiraan, janji Bencis hanya manis di mulut tapi bocor kayak kentut. Sekarang, rahasia Diandra menjadi konsumsi umum. Tanpa sepengetahuan orangnya pula.

"Lu ikut gak?" Yudhan menengok Panty. Panty mengangguk, sekalian kencan di luar kan.

"Lu gak tanya gue? Gue juga ikut lho," kata Aldo tanpa diminta.

"Najis, ngapain juga ngomong sama preman pasar."

Sebuah makaroni tahu-tahu nangkring di kepala Yudhan. Dilempar khusus dari posisi Aldo.

Panty cekikikan menyaksikan ekspresi Yudhan yang kesel setengah mampus.

"Setan!" pekik Yudhan kesal. "Semoga lu putus sama Aldi, amin."

"Anak Dajjal diem aja lu," balas Aldo sewot. Dia gak terima dido’ain jelek.

"Dah, berisik," Bencis yang baru masuk ke kamarnya langsung melerai dua orang gak diundang itu.

"Komik lu banyak juga," sementara itu, Aldi yang lagi asyik mengobrak-abrik koleksi komik Bencis tiba-tiba nyeletuk. "Mau jadi jurugan komik ya?"

Bencis ketawa genit. "Ya gitu deh, cyiin."

"Cewek-cewek ngikut gak ke DBL?" Yudhan menoleh ke barisan para cewek jelmaan.

Pertanyaan gak penting. Karena tanpa ditanya pun, Muha, Lola, dan Irma pasti gabung. Mereka bahkan udah repot-repot mencetak spanduk berisi foto Diandra. Pose bobrok. Zoom in.

"Perlu gak sih kita bawa mic?" ide brutal barusan muncul dari mulut Irma yang biasanya selalu beriman.

"Astaga, gak boleh, Mbak cantik. Ntar di sana juga pasti disita," ucap Panty. Based on pengalamannya sih. Waktu SMP dia pernah nonton pertandingan tim basket sekolahnya di DBL arena. Nah, pas di pintu masuk, pihak security auto mengamankan mic dan sound yang sengaja dibawa guru keseniannya. Niat awalnya sih biar rame. Begitu melihat sound dengan mata kepalanya sendiri, Panty baru ngeh. Pantesan disita. Wong gurunya bawa empat sound mirip formasi saat hajatan ke pertandingan basket. Duh.

"Tapi serius, masa Diandra jadi pemain reguler sih? Lu gak salah kan?" Muha kembali menginterogasi Bencis. Dia heran sekaligus penasaran. Padahal mereka satu sekolah, satu geng pula, masa iya dia gak pernah tahu kalau Diandra main basket? Kan lucu. Bahkan saat Bencis mengatakannya tempo hari---di markas mereka---Muha gak bisa percaya begitu saya. Tapi dia memilih diam. Dia pengen lihat Diandra main basket dengan mata kepalanya sendiri.

"Yaiyalah, gini-gini gue orang terjujur lho di sini," balas Bencis sembari membagikan minum dan cemilan. Hari ini, yes, dia dengan tulus ikhlas mengorbankan kamarnya sebagai tanah jajahan teman-teman gak warasnya. Menyedihkan. Dia bahkan rela jadi babu di tanah sendiri.

"Ok, gak percaya gue," balas Yudhan spontan. Bencis ada aja udah jadi sebuah kebohongan. Tapi dia gak mau mati konyol hanya untuk mengucapkan apa yang dia pikirkan. Iya, kalau sekarang sih aman. Coba aja kalau mereka lagi berdua, modar dia. Bencis pasti membunuhnya dengan alasan merendahkan harga diri orang lain.

"Lu bukan orang beriman berarti," balas Bencis sembari nyengir kuda ke arah Yudhan.

Yudhan yang merasa terancam auto sembunyi di balik punggung Panty, sekalian modus maksudnya.

"Kenapa sih lu?" bisik Panty melihat kelakuan Yudhan yang gak pernah jelas.

Tanpa menjawab, dia buru-buru mencondongkan tubuhnya ke depan dan mencuri satu ciuman dari pipi Panty pelan. “Pengen deket lu aja,” katanya sembari ketawa jahil.

"Duh, kalian..." Lola yang gak sengaja lihat adegan ++ itu akhirnya berkomentar. "So sweet deh, sayang homo," lanjutnya seperti biasa. Namanya juga lola. Gak lihat situasi dan kondisi saat ngomong emang jadi gayanya sejak dulu.

MonotonousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang