#-001

121 10 0
                                    

Dari awal, gue udah nggak nyaman. Berada di kerumunan yang nggak gue kenal sama sekali orang-orangnya. Berteriak seolah membela rakyat kecil dan menentang rancangan undang-undang. Padahal gue yakin, tujuh puluh lima persen orang disini nggak tau apa itu RUU cipta kerja. Sama kayak gue.

Udah mah panas banget, gerah, bau keringet, berisik pula. Gue berdecak, menatap sewot pada Jeno yang ada di depan. Lagi speak up di hadapan mahasiswa lain.

"Ikut aja. Jadi pengalaman." Rayuan manis mengandung racun.

"Ntar lo bisa ambil video banyak bege. Gue fotoin yang cantik biar lo bisa pamer di sosmed."

Kenapa gue bisa sebloon itu termakan ucapan lelaki buaya darat ini? Boro-boro foto, napas aja susah. Nyesel anjir!

Lucas juga mana sih? Perasaan tadi bilangnya mau ikut. Mana kerudung udah basah sama keringet lagi. Astaga! Apek banget, deh!

Dan diantara orang-orang beralmet kuning biru ini, gue mulai emosi. Kenapa pada dorong-dorong sih?

Kampret, ah!

"Aduh, anjir! Sakit."

Matanya pada kemana sih? Kaki gue keinjek, pasti kotor tuh. Nyesel banget gue pake sepatu putih. Baru beli dua hari lalu lagi.

"Woy, Mas! Ati-ati dong!"

Dan gue denger balesan dari sebrang, "Mba, mau demo apa fashion show?"

Tahan!

Kan ngga lucu kalo niat gue ikut unjuk rasa, tapi malah digebukin massa. Dan dengan ketenangan diri, gue berusaha keluar kerumunan. Melawan arah dari para mahasiswa.

Ujan pula. Eh, bukan!

Gue menoleh, banyak air yang di semprot dari depan gedung agung bercat putih. Fix, ini gue ngerasa ada yang mulai nggak beres.

"Basah, kan. Ish!" Kalo pulang ketauan Papah di kurung kali. Bukan gue, si Jeno. Mana ada ayah yang mau anak ceweknya diajak buat nonton beginian.

Kebakaran?

Aduh, perih. Gue mengerjap. Matanya pedes banget. Ngga bisa melek sama sekali sehabis ngeliat asap banyak. Kayak orang dari dalam gedung tuh lempar petasan gitu ya.

Dalam kebingungan, gue memegang apapun di depan. Masa bodoh! Minta tolong pada pemilik kain yang gue genggam. Dia merangkul, membuat gue nurut dan pasrah dibawa kemana aja.

"Perih!"

Tiba-tiba dia minta dilepasin. Enggak, ya. Gue lagi dikondisi nggak bisa liat dan gue nggak mau di kabarkan hilang gara-gara mata ini nggak bisa berfungsi dengan baik. Enak aja!

Masker yang lagi gue pake di lepas. Tiba-tiba ada air ngalir. Ada jemari yang mengusap mata. Oh, ini, ada orang baik yang mau bantu. Gue ikut membersihkan mata biar ngga perih lagi tanpa melepas tangan dari baju yang ada dicengkeraman.

Makasih, Ya Tuhan.

Baru aja bernafas lega. Gue di tarik. Sempoyongan jadinya gara-gara belum siap tapi udah diseret buat ikut lari.

"Lagi ngapain sih?"

Masalahnya, dia nyuruh gue jongkok di bawah tangga deket WC umum. Bisa aja, ada orang yang nyamar jadi mahasiswa terus mentang-mentang gue tadi minta tolong, dia bisa semena-mena. Ngelakuin hal yang nggak senonoh.

"Ih, mas! Saya nggak goblok ya!"

Dia cuma menaruh tangan di bibir yang tertutup masker. Kembali melongok ke luar. Gue jadi ikutan. Ada apa sih? Dia takut sama pemulung yang bawa karung?

Aneh ya, laki-laki ini.

Kecurigaan gue meningkat kala dia melepas almamaternya. Astaga, ini cowok mau ngapain?

Icha's boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang