[Kacamata Merah] Chapter 1

15 3 0
                                    

Koyuki berharap cemas pada jarum menit yang tak menyelamatkannya. Daya kecepatan kakinya tidak memungkinkan, dan ia kehabisan napas karena pelarian ini.

Dari kejauhan, tidak ada keberadaan sekumpulan fans.

Semoga, semoga saja memang tidak ada. Masih terlalu pagi, sayangnya jarum menit jauh lebih dari kemarin.

Ada beberapa orang yang mendahului menuju gerbang. Hanya beberapa orang lain. Dengan aman.

"Kyaaa...... akhirnya dia datang juga!" Berkat potongan rambut---hanya perubahan kecil pada penampilannya---, gerbang tidak lagi mengizinkan dirinya masuk. Ia meniarap lutut, membuat siklus pernapasan seperti sedia kala. Dan mengkhawatirkan tentang hadiah-hadiah yang akan dibawanya, seperti kemarin.

"Koyuki-senpai terlambat lima belas menit, lho! Tapi kami tidak marah, kok."

"Menunggu bel masuk sendirian di dalam kelas memang membosankan, ya."

"Hei, memangnya kau pikir untuk apa dia datang terlalu pagi?"

"Tentu saja untuk bertemu dengan kita."

Sebaris para gadis memangku jenis-jenis tanaman yang berbeda juga bentuk beragam.

Baru saja, sisanya yang di belakang mengisi ruang depan kosong menurut yang mereka kehendaki. Tersenyum dan dekihan yang sama seperti yang lainnya.

Ini bukan bencana jika mereka menyayanginya. Namun suasananya tampak risih bagi siswa yang lainnya.

Sekejap mereka sudah di sekeliling pandangannya. Ia memberi secuil senyum dan lantas mereka histeris.

"Aku membawakan bunga yang keren untukmu! Apa ini bunga yang kau suka?"

"Bagaimana denganku? Aku merawatnya dengan baik, lho."

"Ini bunga pacar air. Kau pasti akan suka."

Lambat laun rautnya kebingungan bersamaan pot-pot tak mengenal ukuran menyakiti kedua lengannya. Sisanya mereka sadar, menaruhnya di samping kakinya.

Menunda mengikuti setiap perdebatan mereka tentang barang bawaan Koyuki yang di luar muatan, matanya tak sengaja berhenti pada pinggiran besi gerbang.

Pengintip yang tertebak sebagai seorang gadis melesat ke dalam. Ada apa dengannya?

.

.

Sudah terlanjur biasa rasanya menjadi siswa yang kerepotan dengan pengangkut pasir tersusun pot-pot bunga sesuai ukuran besar hingga terkecil. Ia baru mencapai pertengahan dari luasnya halaman depan gedung sekolah ini.

"Ayase-kun, kau membawa bunga-bunga sebanyak ini? Lagi?" Gadis tomboy yang tiba-tiba menghampiri dirinya turut serta membungkuk memerhatikan tumpukan bunga.

"Aku datang kurang pagi." Koyuki murung untuk sesaat sembari mencari-cari bunga diingatannya. "Ada tiga bunga palsu yang bisa dijadikan hiasan di kelas."

"Ada bunga palsunya juga?" Koyuki tidak menanggapi gumaman itu. "Para penggemarmu baik, ya."

Ia akan menempatkan bunga palsu pada meja guru nanti. Dan bunga ungu selanjutnya untuk di bingkai jendela berdampingan dengan bangkunya.

"Boleh aku meminta kaktus kecil? Ibuku menginginkannya."

"Ambil saja. Aku tidak suka kaktus."

Natsuki tertawa singkat. "Terima kasih!" Dia mengacungkan jempol dan Koyuki membalasnya dengan senyuman.

.

.

Tidak semua yang di klub kebun tahu cara menanam yang baik. Atau pemberi bunga hasil acak tangan Koyuki ini memang bukan berasal dari klub. Pasalnya, tanah dalam pot terlalu ditekan hingga kurang memiliki daya tarik dan menyiksa sang bunga.

Pemuda yang lebih tinggi darinya; orang yang disukai Natsuki, melirik sinis pada tanah yang digaruknya saat melaluinya bersama teman.

Koyuki memang menyelundupkan dua bunga yang terpisah dari beberapa yang lainnya untuk dirinya sendiri ke kelas.

Ia pastikan kekonyolan di jam istirahat ini cepat berakhir sebelum kelas benar-benar kosong. Terus mengorek bagian terdalam dari tanah ini.

Remahan tanah berceceran di meja dan bukunya, jari tengahnya mampu mencapai alas lubang-lubang pot.

Ya, sedikit lagi.

.

Koyuki terkadang harus mengendap-endap. Siswa-siswa yang beriringan adalah keberuntungannya, menyembunyikan tangan kotornya hingga ia sukses dan berbelok menuju lorong toilet.

Di tengah langkah yang menyiratkan keraguan, hanya satu kesalahan yang membuat suasana menjadi cukup menegangkan—itu yang dirasakannya. Kalaupun begitu, niat baiknya hanya mengulur tangan memutar kepala keran dan memandikan kedua tangan ini.

"Koyuki-senpai?"

Dan ia memang salah.

"Ini toilet perempuan. Kenapa di sini?" Seorang gadis bersurai merah muda menyembunyikan kedua lengannya persis saat 'menembak'-nya waktu itu. Dan tampang terkejutnya seperti saat pertama kali bertemu.

"Se-sepertinya, aku salah arah! Karena sebenarnya aku masih rabun!" Lagi-lagi gara-gara mengubah penampilan. Ia sengaja melupakan kacamatanya dan pada akhirnya menjadi lupa sungguhan.

"Kenapa kacamatanya tidak dipakai?" Dia setengah berkacak pinggang dengan tumpuan tangan sedikit ke punggung, menunjuk wajahnya. Koyuki selangkah ke belakang, terkesiap.

"Aku benar-benar lupa. Lagipula, dengan begini minus-ku akan berkurang dengan sendirinya."

"Salah masuk toilet itu yang Senpai sebut minus berkurang? Bersyukurlah karena hanya ada kita.... Di sini." Kata terakhir menurun menjadi bisikan sesuai tangan kurang ajar itu perlahan berhenti menuduh wajah orang di depannya.

"Ma-Maafkan kelancanganku!" Menekuk kepalanya tapi tak mau menunjukkan sesuatu di belakang punggungnya.

"Yah, terima kasih sudah menegurku. Aku merasa diperhatikan." Koyuki tersenyum apa adanya, menggaruk belakang kepalanya.

Gadis itu berpaling sedikit ke kanan, semakin menunduk.

"Rasanya sudah lama tidak berbincang dengan Setoguchi-san lagi. Sedang apa di sini?"

Kepalanya cepat tertengadah. "Aku sedang mencuci benda yang terjatuh ke kubangan lumpur!" Semburat memerah lambat laun semakin jelas. Dia sedikit menggigit bibir bawahnya.

"Benda yang disembunyikan itu..." Ia tegak melongok-longok ke pinggir yang segera dielakkan oleh orangnya.

"I-Ini benda milik seseorang! Hanya aku yang boleh melihatnya!" Hina memperlihatkan bagian depan dirinya, selangkah demi selangkah ke pinggir menjauh. "Aku pergi dulu, ya." Lalu berlari.

Kacamata MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang