[Life for Game] Chapter 1

8 1 0
                                    

Gadis kecil bertudung telinga panda berjongkok tak jauh dari wahana umum 'khusus mereka'.

Mulanya, Yuu masih bisa tertawa dengan berbaur bersama yang lainnya. Meski berulang kali jatuh dari kubah putih berlubang di sebelah kiri yang selalu mengarahkannya pada gadis itu.

Sang adik yang tidak diperbolehkan ikut bermain.

"Hei, aku menyuruhmu untuk pulang." Bangkit menahan sakit lutut yang ditegakkan.

Telunjuk mungil itu berusaha menggapai tubuh kucing dewasa yang tertidur, terjeda ketika hendak mengusap kucing itu, lalu menarik tangan lagi ke dalam pelukannya pada boneka panda putih.

"Sedang apa di sini?"

Telunjuk berhasil menyentuh bulu kucing berkat dorongan dari caranya merajuk.

Ia turut berjongkok di sisinya, separuh menyeringai. Telapak tangan miliknya menguasai permukaan badan sang kucing, membelai lambat.

Hina bergumam kagum.

.

.

"Hwaaa...."

Ia mengalami masalah yang menekan ketakutannya. Sang Ibu seharusnya tidak berhadapan dengan korban dan tersangka sekaligus.

Atau Yuu benar-benar tidak perlu dipanggil, karena cakaran pada pipi sang adik tidak mungkin hasil buatannya. Tetapi apa yang dikatakan anak cengeng ini, ia tidak tahu.

"Apa yang diajarkan Kakaknya hingga membuat adiknya menangis?" Sang Ibu agak membungkuk, tersenyum dengan makna kebalikan.

Lirikan sekilas menusuk ke orang sebelahnya, yang masih bersenandung. "Aku 'kan hanya mengusap kucing. Tapi dia mengangkatnya."

"Hwaaa.... Sakit!" Cakaran itu hanya diperiksa ibu dengan sedikit menyentuhnya. Tangisan itu agaknya meningkat, Yuu melindungi telinganya, sedikit menjauhi.

"Kucingnya jahat!" Renggang di antara dua tubuh kecil diisi dengan lengan merentang yang menunjuk. "Kakak juga jahat!"

"A-Apa?" Dingin menguasai kulitnya. "Kau yang mengangkat kucingnya!"

"Aku ingin seperti Kakak..."

"Aku tidak mengangkatnya!"

Dia mengucap kata-kata seadanya dan Yuu nyaris berteriak mempertahankan kalimat itu.

"Lain kali, tolong ajak Hina-chan bermain." Datar dan tegas.

"Dia selalu mengikuti kami."

"Kenapa tidak diajak?"

"Aku tidak mau! Dia perempuan!"

Ledakan tangisan, nada kemarahan Ibunya, semua yang tumpah padanya hanya dibendung oleh diam dan menjadi murung. 

Kacamata MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang