10. ONE DAY WITH YOU

47 30 19
                                    

Happy reading, tandai typo bila berkenan. <3

🚲🚲🚲

"Apa kau cemburu?" tanyaku menggoda dengan kedua alis yang naik-turun.
Kulihat ia mendelik, kembali menampakan ekspresi yang biasanya kudapatkan saat menatapnya.
"See, kau tak akan pernah bisa marah padaku," ejekku lagi dengan senyum penuh kemenangan atasnya.
Ia mengembuskan napas, duduk lebih dekat denganku.
Sedangkan yang hanya kulakukan saat ini adalah tersenyum lebar yang lebih terlihat mengejeknya.

"Joy," panggilnya dengan nada suara yang lirih.
Aku mengangkat kedua alis lagi, mendonggakan kepala karena tingginya yang tak semapai dengan tinggi tubuhku.
"Ada apa?" tanyaku masih tetap mempertahankan senyuman.
"Rasanya untuk sekedar berkata rindu, aku tidak mampu," ujarnya serius dengan sorot mata yang memandangku lekat.
Aku ikut tenggelam dalam bola mata cokelatnya, bola mata yang satu bulan belakangan ini sangat aku rindukan dan kunanti-nantikan kehadirannya.
"Memangnya mengapa? Mengapa tidak mampu?" tanyaku tak mengerti.
Lagi-lagi hal tak terduga yang menjadi responsnya, sentilan pada dahiku yang sedikit tertutup poni membuatku meringis sakit.
"Shh," rintihku. Tangan kiriku terangkat menggapai pelipis yang baru saja ia sentil. Sial, lumayan sakit.

Aku jadi meragukan bila dirinya mahluk yang tidak nyata, bagaimanapun aku bisa menyentuhnya dan dia juga menyentuhku layaknya manusia.
"Benar yang teman kostmu bilang, kau kian hari semakin gila," ujarnya menyadarkanku dari pemikiranku sendiri.
Aku kembali melanjutkan ringisanku, menatapnya dengan sengit dan tidak terima.

"Siapa dia, Joy?" tanyanya. Raut wajahnya kini kembali seruis seperti sebelumnya.
Siapa yang dia bicarakan? Ann?
"Ann? Maksudmu Ann?" tanyaku memastikan. Ia mengangguk beberapa kali sebagai respons.
"Memangnya kenapa?" tanyaku semakin menggodanya.
Namun bukannya tergoda, laki-laki tiga belas hanya diam dan bergeming ditempat duduknya. Netranya masih menatapku lekat seolah berkata kali ini dirinya sedang berusaha untuk serius.
"Hanya teman dekatku," jelasku tak mengindahkan tatapan elangnya.
Embuskan napas kasar keluar dari mulutnya, ia memalingkan wajah ke arah lain dan mengadah menatap langit sesekali.
Aku menyirit melihatnya, kedua tanganku bergerak menangkup wajahnya. Memaksa kepalanya agar kembali menatapku.
"Ada apa denganmu? Dan mengapa kau bertanya seperti itu?" tanyaku bingung dengan tangan menangkup wajahnya.
Ia tetap bergeming ditempat, kembali menatapku intens yang membuatku kebingungan.
"Hei!" seruku kencang sembari menggoyang-goyangkan wajahnya yang masih kutangkup.
"Joy!" tegurnya. Mungkin merasa pusing? Namun memangnya ia biasa merasakan pusing layaknya manusia juga?

"Jawab aku, ada apa denganmu?" ucapku mengulang pertanyaan.
Ia tak menjawabnya sama sekali, kedua tangannya ikut terulur dan menangkup wajahku sendiri.
Namun tenaganya berbeda dengan tenaga kecilku, tangkuppan kedua tangannya malah membuat bibirku maju beberpa centi.
"Menyebalkan!" seruku padanya.
Kekehan keluar dari mulutnya, "Kau terlihat lucu bila seperti ini, Joy."
Aku mendelik, melepaskan tangkupan tanganku pada wajahnya dan memaksa tangannya terlepas dari wajahku.

Ah, kesialan apa lagi ini? Aku kehilangan keseimbangan, kakiku yang menggantung terasa terjun ke bawah. Aku terjatuh di atas rerumputan dengan kaki yang tertekuk.
"Awh," ringisku untuk yang kedua kalinya.
Tak memperdulikan rasa sakit pada tubuhku, aku malah mengadah menatap laki-laki tiga belas yang kini sedang melotot dengan sorot pandang khawatirnya. Ia langsung turun dari atas panggok yang cukup tinggi dan menghampiriku.

"Astaga Joy, sudah berulang kali kuberi tahu kan? Jangan ceroboh," ujarnya sembari menuntunku duduk di bangku samping panggok yang tingginya lebih pendek.
Ia mendudukanku di sana, kemudian berjongkok di hadapanku dan meniup-niup luka pada lututku yang mengeluarkan sedikit darah.
"Ini namanya musibah tahu!" ujarku membela diri dengan nada yang kesal.

"Mana ada musibah yang dibuat dirimu sendiri," balasnya dan menggeleng-gelengkan kepala.
Laki-laki tiga belas mengeluarkan sapu tangan hitam yanga ada pada saku kemejanya. Melipat beberapa bagian dan menggulung lututku yang terluka dengan sapu tangan itu.
Semua geralkan tangannya seolah terekam jelas dalam memoriku dengan kualitas paling tinngi, takut bila sewaktu-waktu diriku amnesia, memori tentangnya lah yang paling gampang untuk diingat-ingat.

"Lihat, kau kembali melamun," ujarnya.
Aku tersentak setelah tersadar dari dunia buatanku sendiri, mendapatinya ikut duduk di sampingku dengan badan sedikit menyerong ke arahku.
"Terima kasih," ucapku tulus sembari menatap sapu tangannya.
"Hanya itu?" tanyanya dngan kedua alis yang terangkat.
Aku menyiritkan dahi bingung, bila terima kasih belum cukup, lalu apa?

"Ayo," ajaknya dengan tangan menunjuk sepeda onthelnya sendiri,
Aku ikut menatap sepeda antik yang masih terawat itu. Tiba-tiba euphoria disekitarku meningkat. Satu bulan tak menunggangi boncengan yang ada disepedanya itu membuatku langsung menganggukan kepala dengan senyuman merekah.
Aku berdiri, melupakan rasa sakit pada lututku. Lagi pula saat bangun nanti pasi rasa sakitnya hilang.
Kulihat ia ikut tersenyum menatapku, menuntunku yang masih berjalan dengan kaki yang sedikit pincang menuju sepeda onthelnya yang disandarkan pada pohon besar.

"Sudah siap?" tanyanya sebelum mendorong pedal sepedanya kedepan, mengayuh sepeda antiknya itu mengitari dunia putih yang sepertinya memang diciptakan untuk kami.
"Ke danau?" tanyaku menebak.
"Tidak, kau pasti bosan berada di sana," jawabnya masih fokus pada jalanan yang dilewatinya.
"Lalu kemana?" tanyaku menyiritkan dahi.
"Ke jalan yang baru selesai ku aspal," jawabnya lagi dengan nada enteng.
Aku mendelik tak percaya mendengar ucapannya barusan. Peganganku pada pinggangnya mengerat, mulutku sedikit terbuka karena tidak percaya.

Ah, harusnya aku ingat. Semua hal tentangnya memang membingungkan dan sulit dipercaya.
Kami sampai pada jalanan yang terakhir diriku lewati penuh kerikil yang menyebabkan pinggangku sedikit sakit.
Aku ternganga dibuatnya, turun dari boncengan sepeda onthelnya dan menatap panjangnya jalanan yang kupijaki sekarang sudah halus dan terlihat baru selesai di aspal.
"Kau benar-benar membenarkan jalanan ini sendirian?" tanyaku sedikit tidak percaya. Ya, walaupun mau tidak percaya rasanya tidak mungkin. Dunia putih dalah miliknya, rumah yang berisi dirinya sendiri. Walau kadang aku menerobos kemari dan ia tak melarangnya sama sekali.

"Bila kubilang ada kurcaci yang membantuku, kau percaya tidak Joy?" tanyanya dengan satu alis yang terangkat.
"Terpaksa harus mempercayaimu," ujarku. Bibirku melengkung ke atas, tersenyum simpul menghadapnya.
"Mengapa terpaksa?" Tanyanya.
"Karena semua hal yang berhubungan denganmu sangat tidak mungkin dikepala manusia," jawabku.
Aku duduk di pinggir jalan dengan kaki kiri yang terpaksa diluruskan, mengambil kerikil dan melempar-lemparkannya ke atas.
Saat kerikil itu mengudara, ia langsung menangkap kerikil dengan ukuran sedang itu. Haruskah kubilang agar tidak mengenai kepalaku?

"Di duniamu sudah pagi, Joy. Kau tidak berniat bangun?"
Aku menoleh ke arahnya dengan mata melotot, mengapa waktu berjalan cepat sekali?
"Aku masih ingin bersamamu," ujarku merajuk denga bibir mengerucut.
"Lusakau boleh datang," ujarnya menenangkanku. Ia mengusap-usap rambutku yang tersapu angin dengan gerakan pelan.
"Mengapa tidak besok?" tanyaku penasaran.

Tentu saja aku menawar bila bersamanya, satu bulan menunggunya membuka pintu dunia putih itu tidak mudah.
"Aku ingin lusa saja, Joy," ujarnya tak mengubah apapun.
"Aku akan tidur lebih cepat lusa, tangan ini akan mengenai wajahmu bila kau tak membukakan pintu dunia putih."

🚲🚲🚲

Sepesial laki-laki tiga belas untuk kalian yang pada protes gak setuju Joy sama Ann.

See you in next part.

Publikasi 17/02/2021

Dear Ann : The Subconscious [TERBIT SELF PUBLISHING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang