Selamat membaca, semoga harimu selalu menyenangkan. <3
🚲🚲🚲
Tiga hari berlalu, aku menghela napas untuk kesekian kalinya di depan pintu indekos.
Kembali mengamati keadaan sekitar yang sejak dua hari kemarin benar-benar mengganggu memandangan."Sebenarnya apa sih yang direncanakan semesta?" tanyaku dengan nada yang menggumam.
Aku kembali membalikan badan, berjalan gontai menuju kamar setelah menutup pintu Indekos."Sial, rasanya seperti benar-benar gila," makiku. Aku merebahkan tubuhku pada ranjang dengan posisi terlentang. Netraku menatap kalender yang tergantung dengan bantuan paku di ujung tembok sana.
Rasanya membosankan hidup sendirian seperti ini. Soraya tidak bisa dihubungi hari ini. Sedangkan laki-laki tiga belas sendiri, entah Bagaimana menjelaskannya.
Bagai menghilang ditelan lautan, untuk sekedar mampir dalam mimpiku barang sebentar saja tak sempat.
Pintu dunia putih yang biasa kumasuki kapan saja juga tertutup kencang seolah laki-laki tiga belas melarangku masuk sebelum tidur tanggalnya, tanggal tiga belas.Aku mengalihkan tatapanku pada jendela kamar yang terbuka, horden berwarna tipis yang terlihat transparan mengayun pasti bersama tiupan angin siang.
Lagi-lagi sosok itu, kedua bola mataku mendelik saat kembali mendapatinya.
Dengan tergesa-gesa, aku bangkit dari ranjang dan berlari kecil ke arah jendela.
Mataku kembali mengedar, mencari objek yang tampak dalam netra barusan.Namun lagi-lagi seperti ini, nihil. Tidak ada objek yang berhasil menghantuiku tiga hati belakangan ini.
Aku kembali mengembuskan napas lelah, apa sih yang sebenarnya terjadi?
Mengapa hal ini terasa sangat menyebalkan sekali."Rasanya seperti prank receh yang sialnya aku ikuti," gerutuku dengan bibir mengerucut sebal.
Tak sadar aku termenung dengan tangan bertumpu pada jendela, menatap perkarangan lebar dengan tumbuh-tumbuhan lebat yang tampak berantakan.Tak sadar air mataku menetes, menyadari hal ini benar adanya.
Aku benar-benar menamai diriku sendiri sebagai orang gila.
Terlampau sakit jiwa sepertinya.
Mengusap air mata itu secara paksa, mengadahkan kepala menahan cairan bening itu kembali keluar dari pelupuk mata.Joy, apa sih yang sebenarnya kau cari tiga hari belakangan ini sedangkan jawaban pastinya ada dibenakmu sejak semua ini berawal?
Aku terkekeh miris meratapi alur hidupku. Apa ini terlihat sedikit berlebihan bila kunamai puncak konflik?Memutuskan untuk menutup jendela kamar serta menyeret gorden agar ikut menutupi jendela itu, aku kembali berjalan gontai menuju keluar kamar.
Menghabiskan hari di dalam ruangan pengap ini membuatku merasa tertekan.
Membuka lemari di dapur, meraih teh kantong yang terissa setengah pack.
Tanganku meraih mug putih yang biasa kupakai untuk minum, meletakan teh kantung itu pada mug dan menuangkan air panas di tremos.Aku kembali merenung menikirkan hal yang terjadi tiga hari belakangan ini, tak sadar bila air panas pada tremos yang kutuangkan pada mug kini penuh sehingga menciprat mengenai kakiku.
"Awhh...," rintihku dengan kepala menatap kaki kiriku yang tampak melepuh.
Aku berjalan menuju meja makan dengan langkah tertatih, mendudukan tubuhku di salah satu kursi dan menumpukan kaki kiri yang masih terasa panas itu pada kursi yang sama.Tubuhku menyandar pada sandaran kursi, tak berniat menangani luka bakar itu lebih lanjut. Memilih menatap jendela dapur yang transparan dengan pandangan menerawang.
"Apa-apaan sih ini, mengapa hari ini sial sekali?" tanyaku pada semilir angin masih dengan nada sinis.
Sesekali meringis merasakan luka bakar pada kaki yang kian terasa.Tanganku kembali meraih mug yang terisi air panas penuh, teh kantung yang merubah warna air bening itu menjadi sedikit kemerahan membuatku sedikit tenang.
Ah, memang ya. Menghirup aroma teh kala lelah benar-benar terasa menyelesaikan segalanya.
🚲🚲🚲
Aku sendiri tidak mengerti akan pergerakan tubuhku hari ini. Berjalan kemanapun, ke arah manapun, hingga berada di tempat ramai ini.
Seolah tersadar, mataku kembali mengedar setelah mengerjap beberapa detik.
Embusan napas kembali keluar dari mulutku, kembali melangkahkan kaki memasuki bangunan ramai dengan banyaknya orang-orang yang membawa barang bawaan.Stasiun, tempat yang sama saat mengantar Soraya.
Aku mendudukan tubuhku pada kursi tunggu masih dengan pandangan mengedar.
Kedua tanganku meraih tas slempang yang kubawa, meletakannya di depan paha.Aku tahu tak ada yang bisa diriku lakukan di tempat ramai ini, tak berniat pergi atau menunggu seseorang yang pergi.
Tidak pulang, atau berniat pulang juga.Memangnya rumahmu sendiri dimana? Tidak ada, Joy. Tubuhmu itu tak pernah menemukan rumah yang benar-benar rumah.
Bahkan seseorang yang pernah kau anggap rumah saja sekarang terlihat seperti gubuk tua saja.
Ya, tak bisa membuat tubuhku bertahan lama.Mataku kembali terpejam, embusan napas menenangkan raga terdengar. Genggaman tanganku pada tas slempang kian mengerat, kebiasaanku saat dadaku terasa sesak.
Sebesar apapun usahaku untuk melupakan kebenaran menyebalkan ini akan terasa sia-sia.
Karena realitanya pikiranku saja tak bisa mengendalikannya, rasa kecewa pada diri sendiri terlihat transparan dan bergentayangan kala sosok siulet laki-laki itu kembali muncul.Air mataku perlahan menetes, gigiku menggigit bibir bagian bawahku sendiri lumayan kencang. Menahan isakan yang kutahan diujung indra perasa secara paksa.
"Kan sudah kubilang, Joy. Tidak perlu mencari tahu sesuatu yang bisa menyakiti batinmu sendiri."
Perkataan laki-laki tiga belas tempo hari kembali kuingat.
Aku mengembuskan napas, entah untuk keberapa kalinya.
Setelahnya memutuskan menenggelamkan wajahku diantara kedua telapak tangan.Mengingat laki-laki tiga belas kembali membuat dadaku kian terasa sesak.
Satu tanganku kulepaskan dari wajah, beralih memukul-mukulkan kecil dadaku sendiri lumayan kencang. Berharap rasa sakit yang kutahan sejak beberapa hari ini reda barang sebentar saja.Aku sesengukan dengan menyembunyikan wajah dengan satu tangan, rambutku yang tak terjepit dengan aksesoris kini ikut menutupi wajah bagian samping.
Namun setelahnya, badanku terasa rilex tatkala mendengar aba-aba dan peringatan yang terdengar dari speaker yang terpasang di beberapa sudut stasuin luas ini.
Mengusap air mataku yang tersisa, kemudian menyandarkan tubuhku di kursi. Walaupun masih sesenggukan dengan hidung yang kupastikan telah memerah, aku tetap berusaha tenang. Mengingat menangis tak akan menyelesaikan apapun.
Menit hingga jam berlalu. Tak terasa menopang tubuhku di kursi ini lima jam lamanya.
Aku kembali terkekeh miris, bahkan ratusan orang-orang yang berjalan di depannya tak berniat bertanya mengapa?Kukira yang miris hidupku saja, tetapi aku salah. Karena hal yang lebih miris lagi adalah mendapati tidak ada raga yang berempati.
Sekadar bertanya atau berusaha memulai sapa saja tak ada.
Bagaimana bisa banyak menusia yang bertahan hidup dalam lingkup seperti ini?joy, hidupmu memang tidak cukup baik. Namun cukup menenangkan bila dihabiskan bersama orang-orang baik seperti laki-laki tiga belas ataupun Soraya.
Joy, kudengar batinmu seringkali menjerit tidak terima. Memintamu untuk kembali bangkit walau sulit rasanya.
Sadar mulai sekarang tidak terlambat bukan? Apa salahnya menjelaskan sesuatu yang memang harus dijelaskan.🚲🚲🚲
See you in next part.
Publikasi 08/02/2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Ann : The Subconscious [TERBIT SELF PUBLISHING]
Fiksi RemajaPEMESANAN BUKU ONLY VIA DM DAN PENERBIT. Hal-hal kuno, kopi, dan langit yang menjingga. Start : 15 Januari 2021 Finish : 05 April 2021 ©2021, Nailadiska