17. UMUR RATA-RATA MANUSIA

32 25 15
                                    

Selamat membaca. Maklumi typo yang ada.

🚲🚲🚲

“Sudah merasa lebih baik?” tanya Soraya dengan padangan khawatirnya.
Aku mengangguk mengiyakan ucapannya saja. Tak ingin membuatnya terlalu larut dalam keadaanku yang terlihat kurang baik.
Soraya bilang, ini efek angin malam, tubuhku demam dan kepalaku pusing. Namun menurutku ini tidak hanya karena angin malam, juga karena terkena air hujan kemarin sore.

“Sudah sakit seperti itu pun kau masih sempat-sempatnya melamun, Joy,” tegur Soraya. Aku tersadar, menyengir lebar menghadap wanita yang sudah kuanggap kaka sendiri. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tangannya kini menyodorkan segelas air putih dan obat pereda panas.
Aku meraihnya langsung masih dengan menampilkan cengiran, “Terima kasih, Ray.”

Soraya menanggapiku dengan anggukan singkat, duduk di kursi belajarku dan mulai larut dalam benda pipih menyala ditangannya.
“Tidak perlu izin bekerja untuk sekedar menjagaku,” tegurku langsung.
Soraya mendonggak, menatapku dengan dahi berkerut, “Mengapa kau tahu aku hendak meminta izin?” tanyanya bingung.
“Itu kebiasaanmu saat aku sakit. Ya, walau diriku jarang sekali sakit,” jawabku enteng.

Wanita itu menghela napasnya, kemudian beranjak dari kursi belajarku setelah memasukan benda pipih miliknya ke dalam saku celana.
“Baiklah, aku berangkat kerja saja. Kau tak apa kutinggal sendirian?” tanyanya lagi dengan nada risau.
Aku mengangguk sembari tersenyum lebar untuk meyakinkan Soraya. Terlihat ia pasrah, terbukti karena helaan napas keluar dari mulutnya.

“Hubungi aku bila terjadi seseuatu, Joy.”
Aku mengangguk lagi, menatap tubuhnya yang hilang dibalik pintu kamar yang sudah Soraya tutup.
Kali ini giliran aku yang menghela napas. Berbeda dengan ucapanku pada Soraya bahwa aku baik-baik saja, aku merasa bertambah tidak baik saat menyadari ditinggal sendirian.|
Namun memang ini jalan hidupku kan? Alur kehidupan milik Joy yang selalu dilibatkan dengan perasaan gundah dan merasa kesepian walau ada banyak orang. Sudahlah, tidak jelas.

Aku meminum air mineral setelah menelan pil obat yang Soraya berikan. Meletakan gelas itu di meja belajar dan kembali merebahkan badan.
Sial, keplaku sekarang bertambah sakit. Mungkin dengan terlelap dan berharap bertemu laki-laki tiga belas bisa membuatku jauh lebih baik.

🚲🚲🚲


“Kau demam?” tanyanya khawatir. Tangan laki-laki tiga belas terulur menuju dahiku. Tangan itu, mengapa terasa sangat nyata?
Raut wajah tak biasanya terlihat, ia mengecek seluruh bagian tubuhku dengan pandangan khawatirnya. Entah mengapa aku malah menyukai bila ia khawatir seperti ini.Ternyata sakit ada baiknya juga.

“Melamun lagi?” herannya. Tatapannya berubah menjadi tatapan jengah.
Aku tersenyum menatapnya, tanganku ikut terangkat dan meraih tangannya yang masih bertenger didahiku.
“Haruskah aku terus menerus sakit agar kau memperhatikanku?” gurauku dengan kekehan di kalimat akhir.
Ia menatapku heran, atau mungkin heran dengan ucapanku barusan?

“Joy, apa maksud perkataanmu tadi?” tanyanya dengan kedua alis yang terangkat.
Aku ikut mengangkat alis, “Apa?”
“Maksudmu aku tak pernah memperhatikanmu?”
Mataku mengerjap, benar juga pertanyaannya. Tanganku menggaruk belakang kepalaku yang sedikit gatal, salah bicara.
Ia mengangapiku dengan embusan napas dan gelengan kepala.
“Jangan berkata sembarangan, sakit bukan lelucon, Joy,” nasehatnya dengan padangan serius. Tangannya kembali terangkat menuju rambut pendekku. Mengusapnya pelan hingga menciptakan rasa menggelitik dalam perutku.
“Baiklah, aku mengaku salah,” ujarku mengalah. Jari telunjuk dan jari tengahku terangkat menampakan tanda peace di hadapan wajahnya.

“Ayo, kuajak ke suatu tempat.”
Laki-laki tiga belas turun dari panggok, sedangkan aku hanya bisa menatapnya bingung.
Ia mengulurkan tangannya, memintaku ikut turun. Namun memang pada dasarnya tubuhku masih sangat lemas bila digerakan. Aku menggeleng lemah beberapa kali menolak ajakannya.
“Tubuhku masih lemas,” aduku.
“Kode ingin digendong?”
“Kau memang sangat mengerti diriku.”

Aku melompat ke arah punggungnya setelah laki-laki tiga belas membalikan badannya. Tubuhnya sedikit terhuyung ke depan, mungkin kaget akan pergerakanaku yang terlalu tiba-tiba.
ia mulai berjalan setelah membenarkan posisiku. Aku mengalungkan kedua tanganku pada lehernya, menyenderkan kepala pada bahunya sembari menatap jalanan depan penuh rumput hijau.

“Aku penasaran tentang sesuatu,” ujarku memulai kembali pembicaran.
“Apa yang membuatmu penasaran?” tanyanya. Kami berdua berbelok ke arah kiri, jalan yang tak pernah aku lewati saat berada di dunia putih. Alasannya karena jalannya bebatuan besar dengan pepohonan yang sangat rimbun.

“Apa di sini bisa turun hujan juga?” tanyaku.
Ia terdiam sebentar, aku menatapnya dari belakang sini, ekspresi wajahnya dengan dahi bergelombang  menandakan ia sedang berpikir.
“Ada apa memangnya? Mengapa kau penasaran akan itu?” tanyanya balik.
Tak langsung menjawabnya, aku malah mendengus sebal. Menatap ke arah jalanan bebatuan menyadari bawa ia malah balik bertanya kepadaku dibanding menjawab pertanyaanku lebih dulu.
“Aku ingin bermain  hujan di sini, bersamamu,” jawabku jujur. Wajahku mengadah, menatap langit dunia putih yang selalu cerah, tak pernah ada tanda-tanda hujan akan turun.

“Kau sakit karena air hujan, tetapi mengapa sekarang kau malah ingin hujan-hujanan? Menjadi penghianat tubuhmu sendiri huh?” celetuknya. Laki-laki tiga belas kembali membenarkan posisi tubuhku pada gendongannya.
Aku mengerucut sebal walau yakin ia tak bisa melihatnya.
“Jangan salahkan hujan. Kemarin memang tubuhku sedikit menyebalkan,” gerutuku.

Ia terkekeh, “Joy, Joy, tak salah bila dunia putih selalu membukakan pintu agar kau masuk,” ujarnya.
“Memangnya pintu itu bisa terbuka sendiri?” tanyaku. Pasalnya bila ingin masuk kemari dan laki-laki tiga belas tak mengizinkannya pintu besar itu tak akan terbuka.
“Kau belum menyadari tentang hal ini juga ternyata,” ucapnya yang semakin membuatku bingung.
“Menyadari apa?”
“Tentang pintu dunia putih, Joy.”

“Ada apa dengan pintunya?” tanyaku yang kian tak paham akan alur pembicaraannya.
“Sebenarnya kamu hanya bisa datang tiap tanggal tiga belas. Selain tanggal itu, pintunya akan tertutup,” jelasnya.
“Namun mengapa sekarang aku bisa masuk walau bukan tanggal tiga belas?” tanyaku lagi.
“Karena kau itu Joy.”

Sepertinya kami sampai pada tujuan. Ia mendukanku pada batu besar yang sedikit ditumbuhi lumut. Aku menghirup napas rakus, sejuk rasanya. Namun setelahnya aku langsung menatapnya kembali karena pembicaraan kami barusan belum selesai.
“Aku tidak paham pembicaraanmu,” gerutuku. Aku menkuk kedua kakiku dengan mata menatapnya yang masih berdiri di depanku.

Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan rona merah merona merasa sepesial perihal perkataannya barusan. Karena aku Joy, katanya.
“Kau memang banyak tidak pahamnya, dasar manusia,” ucap laki-laki tiga belas.
Aku mendelik mendengarnya, tetapi setelah itu aku kembali menatapnya bertanya. Ia tampak paham dengan tatapanku itu. Laki-laki tiba belas mengangkat kedua alisnya lagi semabri menunggu pertanyaan terlontar dari mulutku.

“Apa yang menyangkut dalam pikiranmu? Tanyakanlah.” Ia mempersilahkanku segera. Ah, tampak sekali bila laki-laki tiga belas sudah sangat memahami dirku.
Aku meyakinkan diriku terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk bertanya pada laki-laki tiga belas. Lebih tepatnya takut bila nantinya ia merasa tersinggung.

“Umur manusia rata-rata berakhir saat tahun ke tujuh puluh sembilan. Berbeda dengan dirimu yang entah bernama apa. Kau ini sebenarnya siapa?”

🚲🚲🚲

See you in next part.

Publikasi 26/02/2021

Dear Ann : The Subconscious [TERBIT SELF PUBLISHING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang