"Ikuti saya dan jangan bertanya apapun selama di perjalanan!" kata Mbah Wagimin tampak serius. Beliau memberikan setampah penuh bunga dan beberapa hal untuk sesajen.
"Ini buat apa, Mbah?" tanya Rizal dan Andi bebarengan. Mbah Wagimin menatap tajam kedua pemuda itu, membuat nyali keduanya menciut.
Mereka terus mengikuti langkah Mbah Wagimin kemana pun beliau menuntun mereka. Sesampainya di pohon besar yang tempo hari pernah tersesat, baunya juga sudah tidak lagi tercium hanya saja tulang belulang manusia masih berserakan dimana-mana. Mereka meletakkan satu sesajen di bawah pohon. Lalu mereka pergi ke hutan yang jauh dari desa dan meletakkan sesajen diatas batu besar.
Mereka berjalan kembali dan sampai pada rumpun bambu di belakang rumah Mbah Wagimin. Satu sesajen lagi diletakkan disana dan yang terakhir adalah makam di tengah-tengah desa, tapi sesajennya lain daripada yang lain. Tak lupa juga mereka berdua disuruh menabur bunga secara melingkar mengelilingi hutan. Walau keduanya penasaran, tapi mereka terlalu takut untuk bertanya.
***
Siang itu, seluruh warga dan Mbah Wagimin berkumpul di pendopo. Pendopo itu berbeda dari yang biasanya. Hampir seperti rumah-rumah warga dan disitu banyak sekali benda-benada seperti keris, tombak dan semacamnya.
Mereka tengah berdiskusi masalah yang tengah melanda mereka sejak kemarin. Beberapa warga mengatakan telah melihat sosok yang selama ini mereka takuti. Sosok yang bahkan telah ditolak masuk ke desa ini. Sosok itu tanpa kepala dan seharusnya dia hanya ada di hutan sebelum desa ini.
Ada lagi yang bilang bahwa sering kali mendengar orang sedang bercakap-cakap, merintih minta tolong dan tak banyak dari mereka yang seolah telah betabrakan dengan maksluk halus.
Biasanya tidak seperti ini sebelum kedatangan mereka berenam. Yah.. walaupun angker, tapi mereka tidak pernah menampakkan diri mereka karena warga desa hidup berdampingan dengan mereka. Siang untuk warga desa dan malam untuk mereka.
Mereka kembali mengulang kenangan lama yang begitu pahit. Yang membuat ketakutan setiap kali mengingatnya.
Saat itu...
Dua insan itu tersesat hingga sampai di desa ini. Yang perempuan terlihat seperti orang lokal dan yang laki-laki seorang bule. Mereka bilang sudah lama menantikan momongan tapi mereka belum dikaruniai anak.Mbah Wagimin sebagai sesepuh disana menyarankan untuk nyekar ke makam tua di tengah desa. Makam itu adalah makam sesepuh pertama di desa ini.
Malam harinya, sang istri mendapat mimpi untuk pergi sebuah batu besar dan tidur disana selama tujuh hari tujuh malam dan... dengan ditemani suaminya, ia pergi kesana dan melakukan seperti yang ada dalam mimpinya.
Sembilan bulan pun berlalu. Pasangan itu dikaruniai dua putri kembar. Tapi... yang satu memiliki wajah iblis. Begitu yang dikatakan warga. Mbah Wagimin menyarankan untuk memotong kepala bayi tersebut lalu menguburnya di hutan jauh dari desa ini.
Mereka juga diminta untuk tetap tinggal disana sampai usia bayi mereka menginjak tujuh tahun. Bayi mereka diberi nama Natasha dan tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik.
"Namung wonten setunggal cara kangge ngulemi piyambakipun. inggih punika bilih ingkang sesambetan rah kalih piyambakipun sengaja memanggilipun," kata Mbah Wagimin.
*Hanya ada satu cara untuk memanggil dia. Yaitu jika yang berhubungan darah dengannya sengaja memanggilnya.
***
"Mau melihat hantu, gak?" tanya Raisa antusias begitu sampai di rumah Mbah Wagimin. Kebetulan si pemilik rumah sedang ke balai desa sejak maghrib tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bed Time Stories
Short StoryFollow dulu ya Sekumpulan cerpen dalam berbagai genre. Baca aja dulu! Siapa tahu ketagihan