"Nata... ikuti aku!" Suara itu menuntunnya sangat jauh dari desa. Rasanya ia tidak punya lelah walau berjalan sejauh itu.
"Kita akan kemana?" tanya Natasha kebingungan. Langkahnya tidak pernah terhenti meskipun ia tidak yakin karena setiap kali ia ingin berhenti, wanita itu melarangnya.
"Teruslah berjalan! Akan ada sesuatu yang besar."
"Lalu bagaimana dengan warga desa dan teman-temanku?"
"Sekarang tutup matamu dan jangan pernah membukanya apapun yang akan kau rasakan dan kau dengar!"
Natasha menutup matanya. Yang bisa ia rasakan hanya seperti terbaring diatas batu. Jiwanya seperti melayang, melalang buana tak tahu kemana. Natasha melihat semuanya dengan jelas yang terjadi pada warga desa dan teman-temannya.
Ia bisa bertatap muka dengan saudarinya yang telah tiada. Hatinya sakit karena telah mengorbankan semua orang demi membalas sakit hati saudarinya.
Harusnya ia tidak egois. Sejak kecil Natasha merasa seperti diikuti seseorang. Ia selalu melihat sosok wanita di depannya, yang selalu mengawasinya. Dia selalu bilang untuk membantu saudarinya.
Ketika Natasha dewasa barulah ia tahu jati dirinya saat mendengar percakapan kedua orang tuanya dan ia pun pergi ke Surabaya untuk belajar disana.
Disana ia bertemu dengan Andi, Rizal, Gishelle, Mira dan Raisa yang suka sekali dengan petualangan. Lalu ia mengajak mereka berlima untuk pergi mendaki ke Gunung Wilis.
Natasha sengaja menunjukkan jalan yang salah pada mereka berlima dan juga... memanggil saudarinya masuk ke dalam desa itu. Untuk membalas dendam.
Hanya Natasha saja yang selamat karena ibunya telah melindunginya dengan membawanya pergi dari desa.
Kini saudarinya itu bisa tersenyum lega. Ia menjabat tangan Natasha dan mereka seolah menjadi gadis berumur tujuh tahun kembali.
***
Rombongan orang berbondong-bondong berjalan masuk ke dalam hutan. Salah satu dari mereka seperti seorang tuan putri namun pakaiannya itu sudah lusuh. Banyak bekas luka di tubuh dan wajahnya. Jalannya saja tertatih-tatih sembari bertopang pada tongkat yang terbuat dari rotan.
Mereka adalah rombongan warga yang ingin diasingkan ke hutan belantara, jauh dari hiruk-pikuk desa.
Beberapa prajurit meninggalkan mereka di tengah hutan yang sangat lebat. Namun tidak ada satupun dari mereka yang pernah kembali ke kerajaan.
Sementara warga dan seorang putri yang diasingkan, membangun gubuk yang terbuat dari daun kelapa yang sudah kering dan jatuh dari pohonnya. Salah satu warga mengusulkan agar menggunakan kekuatan magis putri tersebut.
"Hei.. gadis. Bukankah kau seorang yang berilmu hitam? Cepat ambil daun kelapa muda dan segera buat tempat berlindung. Ini sudah larut malam," omel si pria jangkuk tersebut.
Putri itu diam saja kemudian bergerak seolah sedang mendorong sesuatu dan satu pohon kelapa tumbang. Kemudian ia pergi begitu saja, meninggalkan pria jangkung tadi yang masih mengomel tentang pohon itu.
"Bagaimana kita bisa memotong daun ini sementara kita tidak punya benda tajam?" Atensinya mengarah pada pohon kelapa dan semua warga bergantian.
Beralih kepada putri tersebut. Ia menemukan sebuah batu besar yang diselimuti banyak tumbuhan rambat. Ia duduk disana, seolah sedang menyesali sesuatu.
Tidak ada sinar bulan atau barang kali suara hewan disini. Ia merasakan kehampaan yang begitu dalam dan sepertinya ia akan terjebak disini selamanya.
Ia mulai duduk bersilah, berusaha untuk fokus namun tiba-tiba ia seperti di serang dari belakang. Darah seketika keluar dari mulutnya. Detik kemudian yang bisa ia rasakan hanyalah perlahan nyawa keluar dari tubuhnya. Ia memegang perutnya yang berisi sembari berharap suatu saat akan melihat putrinya lahir dalam rahim siapapun.
"Kita akan lihat sampai mana kegelapan datang," monolognya.
Terjadi pembantaian besar di hutan tersebut. Tidak ada yang tersisa dari mereka. Nyatanya, impian mereka untuk hidup tenang berubah petaka. Sesungguhnya tidak ada yang namanya diasingkan, melainkan pembunuhan massal secara tersembunyi. Mereka tidak menyangka bahwa kejahatan sekecil itu juga berdampak buruk bagi kehidupan. Mereka semua. Baik yang hidup maupun yang mati.
Mengutuk dan juga menumbuhkan sebuah janji yang akan menjadi malapetaka.
Setiap tahun ada yang selalu berbuat kejahatan, lalu mereka diasingkan di hutan yang sama dan di bunuh. Hingga tahun ketiga dan hal sama terjadi, barulah petaka datang pada kerajaan tersebut.
Tidak satupun dari mereka selamat. Baik kerajaan beserta rumah-rumah warga tertelan bumi begitu saja. Seketika gelap. Dan beberapa tahun kemudian hanya tumbuh pohon-pohon besar yang sama seperti hutan itu. Membuat hutan itu makin luas dan mengerikan. Mengubur semua kenangan dan menumbuhkan kekelaman.
***
Zaman pun berubah. Dua puluh kilo meter dari hutan itu, sudah banyak di tempati rumah warga. Tapi naasnya, masa kelam juga tidak pernah sirna. Desa baru itu digunakan untuk hal-hal kotor oleh para penjajah, seperti berjudi, prostitusi, ladang ganja dan lain sebagainya.
Warga yang tidak kuat memilih untuk pergi ke hutan yang selama seabad tidak pernah dijangkau manusia sejak hari itu. Mereka datang dengan harapan agar terbebas namun yang mereka dapatkan justru kekangan. Mereka tidak pernah bisa hidup ataupun mati dengan tenang.
Sekitar dua puluh rumah sudah ada disana, tapi desa mereka masih belum juga memiliki nama. Sesepuh disana bertapa di tengah-tengah rumah warga yang membentuk lingkaran.
Selama kurang lebih dua tahun, ia tidak mendapat jawaban atas nama untuk desa tersebut hingga akhir hayatnya.
Seorang yang diangkat sebagai kepala desa akhirnya menamai desanya "Tapa Asma". Dalam arti Jawa, Tapa artinya bertapa dan Asma artinya nama. Sama seperti yang dilakukan sesepuh mereka.
.....
The end....
Terima kasih banyak sudah mampir dan membaca cerita pertama dari kumpulan cerpen ini. Kisah ini tidak nyata. Ini hanyalah bagian dari mimpi dan imajinasi penulis.
See you in the next story
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bed Time Stories
Short StoryFollow dulu ya Sekumpulan cerpen dalam berbagai genre. Baca aja dulu! Siapa tahu ketagihan