Angin besar tak henti-henti berpintas di atas tanah dimana ada dua anak manusia sedang berkendara pada suatu Sabtu sore. Yang lebih muda, Warsa, mengeratkan jaket Hendra yang membalut tubuhnya rapat.
Musim pancaroba memang membawa banyak kejutan. Seingat Warsa saat tadi ia berkemas di kosan cuaca masih panas dan gersang, kini saat ia sudah di motor Hendra, angin kencang beserta gerimis tiba-tiba datang.
Sesuai perkataan pemuda jangkung itu di Surabaya, Sabtu berikutnya ia betulan mengajak Warsa bertandang ke rumahnya di Pekalongan. Hendra memang sudah hampir tiga bulan tidak pulang menemui Ibuk, Bapak, dan si kecil Utari yang cerewet tiada tara, jadi hari ini ia putuskan untuk menginap dua malam disana dengan membawa si manis di belakangnya.
Setelah dua jam lebih berkendara, disinilah mereka, rumah batu satu lantai dengan tembok cokelat muda. Ukurannya tidak terlalu besar, namun halamannya luas dengan bangku kayu serta meja kecil di bawah pohon mangga arum manis yang sedang berbuah. Netra Warsa juga tak melewatkan keladi, kamboja putih dan kembang berdoa yang berjejer rapi mengisi beranda rumah Hendra, menambah asri kediaman tersebut.
Hendra menyuruh Warsa turun lebih dulu, sementara ia membuka pagar lalu memasukkan motornya di halaman. Baru saja hendak mengucap salam, dua lelaki tersebut dikejutkan oleh suara bantingan pintu yang sepertinya dibuka buru-buru.
Menampilkan seorang gadis bertubuh kecil dengan kaus merah muda.
Mahendra lantas tersenyum lebar sambil merentangkan tangan, gestur meminta agar si puan segera balas memeluk.
Namun bukannya dekapan hangat, gadis tadi justru mengarahkan tangannya ke rambut hitam milik Hendra lalu mencengkramnya kuat-kuat.
"INGAT PULANG JUGA KAU MAS?! HAH?!"
"A-aduh Tari lepasin dul—AHKK!"
"APA?! LUPA KAU KALAU MASIH PUNYA RUMAH?!"
"Demi Allah Tari ini sakit sekali—IBUK!! SI TARI NIH!!"
"Pftt"
Warsa tak sanggup menahan tawa melihat kakak tingkat sok kerennya itu kini mengaduh perih habis dijambak oleh gadis mungil yang ia ketahui sebagai adiknya Mahendra.
Mendengar tawa Warsa, Gadis bersurai kepang itu baru sadar ada eksistensi lain selain dirinya dan Mas-nya. Tangan Utari yang tadi beringas menjambak rambut sang Kakak kini ganti menarik kepala yang sudah berdenyut itu, berbisik tepat di telinga Hendra.
"Gusti... siapa cowok manis itu, Mas? Koncomu?"
Ekor mata Tari melirik-lirik kecil ke arah Warsa yang kini tersenyum simpul kepadanya sambil melambai kecil.
Aduh kalau begini bisa-bisa Utari pingsan berdiri.
Hendra yang melihat itu mendengus sebal, lantas melenggang masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya menoyor brutal kepala adiknya dari belakang.
Haduh Mahendra, kau lupa mengajak Warsa masuk atau bagaimana?
"Lah wong edan malah ditinggal temennya— eh, anu.. Ayo masuk dulu, Kak! Monggo"
Warsa melangkah malu-malu dan mengekor Utari ke dalam rumah. Begitu masuk atensinya langsung tertuju pada pigura foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu. Disamping pigura itu ada kaligrafi besar dan banyak sekali sertifikat-sertifikat yang dibingkai rapi."Ibuk sama Bapak mana, Ri?"
Hendra baru saja dari kamar mandi setelah membasuh kepalanya supaya berhenti berdenyut nyeri. Demi Tuhan kulit kepala Hendra seperti mau copot dari tempurungnya. Heran dia selama ini Ibuk beri makan apa Utari sampai-sampai punya tenaga macam bison jantan kayak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEWINDU (ft.hajeongwoo) DISCONTINUE
Fanfiction[1997; gerbong kereta menuju Gambir] "Kurasa kita akan mati hari ini" "Menurutmu begitu?" "Setelah pelarian-pelarian tanpa titik temu, kenapa masih di sampingku? "Ntahlah, tapi kurasa bersamamu adalah benar, aku suka kebenaran" "Kau bisa mati kapan...