01. Hujan yang Turun Tiba-tiba

1K 175 57
                                    


Kaliwungu, 27 Mei 1995.


"Kau gila? Tidak boleh!"

Wibisana, laki-laki berjaket biru dongker itu memijit pangkal hidung bangirnya pelan. Seumur-umur menjadi mahasiswa merangkap aktivis pro-reformasi, ia telah mengalami setidaknya empat pelarian yang tiga diantaranya dihadiahi lecutan bertubi selama dua hari tiga malam di markas para lalat; sebutan mereka bagi aparat yang tunduk di bawah rezim orba.

Dan kali ini ia tak menyangka akan kembali melakukannya dengan satu bocah maba yang kukuh menawarkan diri ikut serta.

Memusingkan.

"Aku ikut Kak. Kau tahu aku bukan anak kemarin sore yang hanya berbekal euforia akan petualangan dengan jangkrik dan kumbang hutan. Aku tahu risikonya"

"Tapi tetap saja ini tidak mudah, Warsa. Kumohon, jangan jadikan dirimu beban"

Sambil memasang raut memelas, Wibisana menepuk bahu lebar lelaki manis yang sejak tadi nampak teguh mempertahankan alasan mengapa ia harus diikutsertakan.

Satya Dasawarsa, mahasiswa ilmu komunikasi yang baru 6 bulan lalu lulus SMA itu begitu yakin akan tekad dan kompetensinya untuk melakukan agenda aktivisme bersama para senior kampusnya itu, melalang buana ke pabrik-pabrik dan pemukiman kumuh, membesarkan hati petani dan para buruh, mengadakan diskusi tertutup mengenai reformasi dengan aktivis dan persma lain, yang tentu akan berujung pada dua kemungkinan; selamat atau tertangkap.

"Aku berani bersumpah tak akan jadi beban, Kak. Ayolah, kau kenal aku selama hampir separuh usiamu! Tentu kau tahu betapa sial hidupku yang sehari-hari diberi makan latihan fisik oleh tentara langsung."

Kalimat Warsa mengundang salah satu aktivis yang sedang asik menggauli indomie di anak tangga, sebut saja Jinan, menyeletuk.

"Heh, justru itu! Apa ada jaminan bahwa kau tidak bakal berkhianat? Bagaimana jika kau malah mengundang para lalat itu menangkap kami semua?"

Sontak saja raut Warsa jadi sedikit tidak enak.

"Demi Tuhan, Kau sungguh masih mencurigaiku bahkan setelah 3 tahun kuhabiskan waktu jadi pendengar makianmu tentang rezim tai itu, Kak? Jika aku musuh dalam selimut maka tidak bakal ada ceritanya kau makan indomie di tangga rumah ini sekarang. Dan lagi, aku adik Prawira Sawindu, kalau-kalau kau lupa"

Mendengar nama itu, tak ada lagi yang berani membantah. Pasalnya, Bang Wira, kakak Warsa, adalah senior yang paling mereka segani, sekaligus salah satu pelopor Panakardi, perkumpulan yang saat ini menjadi wadah pikir mereka sebagai aktivis. Hingga sekarang mereka berdiri, tak ada satupun yang tahu keberadaan Bang Wira yang dinyatakan hilang sejak tahun kemarin, bersama dua lagi rekannya yakni Bang Maraka dan Bang Luki.

Meninggalkan seorang adik lelaki yang manis namun juga kritis.

"Kubilang biar saja dia ikut"

"Kenapa?"

Lelaki yang satu mencondongkan badannya, berbisik

"Sepertinya dia bisa diandalkan, lagipula dia bisa kita gunakan sebagai jaminan perlindungan mengingat kakeknya itu bos para lalat"

Ctakk

"Adoh!"

"Ada-ada saja alasan kau, Juna! Mana bisa seperti itu" lelaki tadi lantas mendapat jitakan dari pemuda minimalis di sampingnya, Madya.

Kembali pada Wibisana yang lagi-lagi memijat pangkal hidungnya. Ia sudah menduga bahwa rencana mereka kali ini akan jauh dari kata lancar dan sentosa. Sungguh dia tak ingin kehilangan anggota lagi. Sekalipun semua jiwa yang ada di ruangan itu sebetulnya sudah kasat rasa akan yang namanya takut mati, tapi tetap saja Wibisana masih merasa berat hati.

SEWINDU (ft.hajeongwoo) DISCONTINUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang