04. Jatuh yang Pelan-Pelan

625 124 58
                                    

Surabaya, 7 Juni 1995

Warsa baru tahu ternyata ada orang di muka bumi ini yang menjadikan naskah tragedi sebagai pengantar tidur, dan orang itu adalah Mahendra Atmadja.

Lelaki berpipi coklat itu memindahkan buku King Lear karya William Shakespeare yang menutupi wajah pulas Hendra ke meja, lantas mengguncang bahu pemuda yang sedang tertidur di sofa itu pelan.

"Kak, bangun! Sejam lagi rapatnya mulai."

Hendra melenguh samar, lalu terduduk dengan mata yang masih setengah tertutup.

"Jam berapa?"

Sial. Suara serak nan berat Hendra yang baru bangun seperti menggelitik telinga Warsa.

"J-jam tujuh lewat lima."

"Nngh iya..."

"Kakak cuci muka dulu, lalu sarapan. Nih! Saya mau ke belakang." ujar Warsa sambil menyodorkan sebungkus nasi pecel ke hadapan pemuda yang masih agak linglung tersebut.

Sebenarnya Hendra sudah bangun dari jam empat , tapi cuaca Surabaya yang agak dingin pagi itu membuatnya tanpa sengaja terlelap. Salahkan Jinan yang mempelonconya dengan kisah-kisah asmara taik kucing hingga Hendra baru bisa tidur pukul satu malam karenanya.

Pagi ini mereka akan menyusun agenda FAMI (Front Aksi Mahasiswa Indonesia) selama setahun kedepan, dan kegiatan bagian Panakardi adalah blusukan ke Wawangrewu yang rencananya akan dilaksanakan dua bulan lagi. Keadaan disana mengerikan. Lahan yang sejak dulu milik nenek moyang penduduk setempat diambil alih paksa oleh tentara bahkan akan dipagari untuk mengusir masyarakat dari teritori mereka sendiri.

Hal ini lumrah di orde baru; orang lemah akan jadi santapan orang berkuasa. Anjing.

Pukul delapan, Haikal dan Wibisana sudah dengan mantap memaparkan dan menampung suara aktivis-aktivis terkait agenda reformasi yang mereka gaungkan sejak lama. Decitan kapur dan mesin ketik menjadi iringan diskusi mereka pagi itu.

Di tengah-tengah rapat ada beberapa kali pendapat yang bersinggungan, salah satunya yakni masalah publikasi hasil observasi mereka ke media. Sebagian berpendapat bahwa itu harus dilakukan agar masyarakat dan tokoh-tokoh yang masih punya semangat akan demokrasi menjadi semakin tergerak. Namun sebagian lagi menentang rencana itu karena dianggap akan menjadi bom bunuh diri bagi terkuaknya identitas mereka sebagai reformis.

Lalu diantara keributan itu, suara berat Hendra tiba-tiba menjadi pengalih perhatian hampir seluruh orang di ruangan.

"Menurutku, kegiatan ini memang perlu dipublikasikan, namun bukan melalui media lokal yang kebanyakan hanya jadi kaki tangan pemerintah, melainkan dari pers luar"

Mereka dilanda bingung. Pers luar? Bagaimana caranya?

"Setiap akhir September biasanya akan ada festival di alun-alun kota, dan pastinya akan banyak wisatawan luar yang berkumpul disana, menonton."

Hendra mengambil napas panjang.

"Usulku, kita buat rekaman dokumenter tentang kesaksian masyarakat Wawangrewu, lalu menampilkannya di festival tersebut. Masyarakat akan lebih tertarik melihatnya ketimbang tayangan propaganda yang berulang kali disuguhkan pemerintah untuk mencuci otak kita semua—"

"Dan para wisatawan luar, atau jika kita beruntung, terdapat wartawan diantaranya, pasti akan dengan senang hati mendebutkan sisi bejat dari suatu negara Asia Tenggara yang dielu-elukan akibat swasembada semu. Kejadian ini akan sama seperti andil pers internasional dalam mengungkap keberadaan TNI pada Serangan Umum 1 Maret, meski kita semua tahu bahwa peristiwa itu sama sekali berbeda dengan yang ditampilkan di Janur Kuning."

SEWINDU (ft.hajeongwoo) DISCONTINUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang