Salju pertama di tahun 2020. Bertepatan dengan natal yang selalu Bulan lewatkan. Bukan karena ia tidak ingin, tapi tidak diperbolehkan. Kendaraan yang terjebak macet dan sinterklas yang dikerubungi anak-anak kecil menimbulkan hingar-bingar. Suara yang berhasil memecah fokus Bulan yang tengah menulis puisinya. 'Musim Semi', judul yang tertulis besar-besar pada kertas di hadapan Bulan. 30 menit ia hanya diam sambil memegang pulpen di tangannya. Berpikir keras awal mula apa yang cocok dituliskan dalam puisinya kali ini.
Pulpennya jatuh berkelontangan di lantai tepat ketika terdengar teriakan dari halaman depan rumahnya. Bulan spontan membuka jendela dan melihat keluar. "Hampir saja jantungku lepas, ternyata hanya karena itu, huh konyol." Gumam Bulan. Teriakan tadi ternyata berasal dari anak kecil yang kehilangan lolipopnya karena jatuh ke tumpukan salju. Bulan kembali duduk dan bersandar di atas kursi belajarnya. Memandang langit-langit kamarnya dan terpejam sejenak. Sayup-sayup terdengar sebuah lagu dengan melodi yang sangat indah dan menenangkan, 'I just wanna be happier', potongan lirik dari lagu Blue & Gray. Bulan menangis tanpa ia sadari. Entahlah, dadanya terasa sesak dan air mata membantunya menuangkan kegelisahannya.
Bulan membuka matanya perlahan. Pandangannya langsung tertuju ke arah vloating frame di atas meja belajarnya. Vloating frame yang Bulan berikan sebagai hadiah graduation untuk kakaknya. Terpasang foto berwarna ia dan kakaknya di sana, Bulan dan Mentari yang tengah berdiri di belakang kue ulangtahun. Foto itu diambil pada Juli 2014, 6 tahun yang lalu. Bulan tersenyum mengingat kala itu. Tepat tanggal 9 Juli Mentari berulangtahun yang ke-17, dan Bulan baru berusia 12 tahun. Keduanya tersenyum di depan kue ulang tahun dengan hiasan bunga matahari. Saat itu, Bulan masih bisa dengan bebas mengejek Mentari karena ia lebih tinggi 2 cm darinya. Kemudian bergegas lari saat Mentari mengejar dan hendak mencubit Bulan. Sementara ibu dan ayahnya hanya sibuk tertawa melihat tingkah lucu kedua putrinya. "6 tahun lalu rasanya aku memiliki keluarga paling bahagia di dunia. Kenapa harus ada tahun 2016 dalam hidupku?"
Tok...tok...tok. "Bulan kamu lagi ngapain? Ayo keluar, Ibu buatkan nasi goreng kesukaan kamu." Suara ibunya memecah lamunan Bulan. Bulan segera beranjak sembari mengusap ujung matanya yang berair. "Ibu adalah satu-satunya orang yang ku punya sekarang. Aku janji akan terus ada di samping Ibu sampai kapanpun, seperti pesan kakak 4 tahun lalu." Gumam Bulan.Bulan duduk di atas sofa ruang tengah mereka. Tergantung kaligrafi bertuliskan Allah di dinding sudut ruang tengah itu. Keluarga Bulan adalah keluarga muslim di negara yang penduduk muslimnya minoritas. Ibunya datang dan duduk di sebelah Bulan. "Anak Ibu sudah besar. Bulan, Ibu selalu berdoa semoga Bulan tetap jadi sinarnya Ibu, di dunia dan di akhirat nanti." Katanya sembari mengusap lembut rambut hitam Bulan. Bulan menatap ibunya dan tersenyum lembut. "Insyaallah, semoga kita bisa ketemu lagi di surga. Bulan, Ibu, dan kakak." Ucap Bulan sambil memegang erat tangan ibunya.
Ruang tengah keluarga Bulan sudah lama terlihat mati. 4 tahun sejak kakaknya pergi, mungkin hanya 3 atau 4 kali mereka sekeluarga duduk bersama di ruang tengah itu. Selebihnya, Bulan hanya berdiam diri di kamar, dan keluar hanya jika dipanggil ibunya untuk makan. Bulan bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia berbicara kepada ayahnya. Entahlah, Bulan rasanya tidak lagi merasakan sosok ayah dalam hidupnya. "Ayah hanya pajangan tak berguna di rumah ini." Gumam Bulan setiap kali wajah ayahnya terlintas dalam benaknya.
YOU ARE READING
Bulan dan Binarnya
RandomCerita ini aku persembahkan untuk bulan dan binarnya, yang selalu memberikan ketenangan. Bulan yang selalu berusaha berbinar terang, meski kadang dihalangi berbagai hal. Bulan dan binarnya yang Tuhan izinkan untuk berjalan beriringan.