Ayah

10 0 0
                                    

Bulan melipat mukenanya setelah ia baru saja menyelesaikan salat zuhurnya. Ibunya meminta Bulan untuk membelikan minyak goreng di minimarket dekat rumah mereka. Bulan bergegas mengenakan coat cokelat dan kerudung dengan warna senada. Suhu di luar rumah mereka saat itu mencapai -6 °C. Bulan merapatkan coatnya dan mempercepat langkahnya. “Sungguh dingin sekalli hari ini. Hanya orang bodoh sepertiku yang mau keluar demi membelikan sebotol minyak goreng." Keluh Bulan. Bulan hampir saja menggigil kedinginan saat ia akhirnya tiba di minimarket tujuannya.

Bulan langsung mengambil sebotol minyak goreng dan membayarnya di kasir. Minyak goreng sudah di tangan dan ia bergegas untuk pulang. Bulan hanya menggunakan sendal saat pergi, ia pikir itu tidak akan menjadi masalah, minimarket yang ia tuju dekat sekali dengan rumahnya. Bulan benar-benar keliru. Sandalnya putus dan ia jatuh terjerembab ke dalam tumpukan salju. “Sial, hari ini aku benar-benar sial." Umpat Bulan kesal. Bagaimana tidak, bajunya basah, ia kedinginan, dan sekarang harus pulang tanpa alas kaki. Tapi tanpa Bulan ketahui, sesuatu yang lebih menyedihkan sedang menantinya di rumah.

Sepelemparan batu dari rumahnya, ia melihat seorang laki-laki dengan jaket hitam keluar dari halaman rumahnya. Sedetik kemudian Bulan menyadari sesuatu yang buruk telah terjadi di rumahnya. Bulan berlari dan segera membuka pagar rumahnya. Tidak salah lagi, Bulan menemukan ibunya terduduk sambil menutup mata di kursi dapur.  “Ibu, apa yang terjadi?” Tanya Bulan dengan nada khawatir. “Ayahmu datang." Jawab ibu Bulan dengan suara gemetar. Bulan benar-benar marah saat itu. Giginya bergemeletukan seiring ia yang berusaha mengendalikan emosinya.
Ayah Bulan dulunya adalah seorang arsitek dengan reputasi luar biasa. Ayahnya sudah kerap mendapat proyek besar yang bernilai fantastis. Tidak heran, dulu keluarganya sangat berkecukupan. Bulan masih mengingatnya. Dulu saat ia dan kakaknya meminta sesuatu, paling lama 1 minggu pasti bisa mereka dapatkan. Masa kecilnya penuh dengan mainan-mainan lucu, makanan enak, dan tentunya keluarga yang hangat.

Memang benar, 'roda kehidupan akan terus berputar'. Entah kapan, keluarganya menjadi begitu hancur. Bulan rasanya tidak bisa merasakan kebahagiaan lagi sejak saat itu. Ayahnya yang tiba-tiba menjadi aneh, disusul kakaknya yang kemudian pergi, dan ibunya yang kini sakit-sakitan. Dunia memang terlalu kejam pada Bulan. Bulan yang dulu merupakan anak yang periang, kini hanyalah sosok maneken yang bernyawa. Bulan kehilangan binar yang selalu melekat pada dirinya.

Bulan bukan anak yang terbiasa menyampaikan kasih sayangnya kepada orang lain secara langsung. Melihat ibunya yang menahan tangis, Bulan bergegas pergi ke kamarnya dan duduk termenung di atas kasur. Bulan kehabisan air mata. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia menangis. Air matanya terlanjur habis digunakan ketika ia masih seorang anak kecil yang cengeng. Beruntung ia masih memiliki ibu yang menyayanginya.

Sejak Mentari pergi, ayahnya sangat protektif dan temperamental. Tidak jarang ayahnya bertindak abusive pada ia dan ibunya, kemudian membela dirinya dengan embel-embel agama. Akhir-akhir ini, ayahnya bahkan hanya pulang untuk meminta uang. Bulan kemudian menghela napasnya pelan. Ia duduk di kursi belajarnya dan mulai menulis.

Binar Bulan malam ini mulai redup
Tampaknya tertutup awan,
Dan kehilangan Mentarinya

Kemarin,
Binar masih memeluk Bulan
Kini Binar menjauh
Mungkin karena awan hitam?

Binar
Bulan merindukannya
Binar dari pantulan kekasihnya
Kekasihnya yang telah pergi jauh

Mentari
Bisakah kau giring Binar kembali?
Bulan rindu
Sungguh merindu

Bulan dan Binarnya Where stories live. Discover now