Mentari (2)

0 0 0
                                    

Bulan Maret tahun 2015. Mentari saat itu adalah seorang mahasiswa fakultas seni di salah satu universitas ternama di kotanya. Mentari mencintai seni sejak ia masih kecil. Di samping menulis puisi, Mentari juga pandai memainkan piano dan memiliki suara indah. Meskipun begitu, Bulan selalu berteriak kesal pada Mentari saat ia bernyanyi. “Suaramu tidak lebih indah daripada kicau burung di luar sana kak. Berhentilah membuat suara yang memekakkan telinga.” Ejek Bulan pada kakaknya. Bulan memang terlalu gengsi untuk memuji kakaknya, meski sejujurnya ia juga mengakui keindahan suara kakaknya.

Keluarga mereka sampai saat itu masih menjadi keluarga yang diidam-idamkan orang lain. Hangat dan harmonis. Di bulan Maret itu pula ayah mereka mulai mengikuti kegiatan keagamaan yang mana banyak sekali warga Indonesia yang tergabung di dalamnya. Setiap hari Sabtu ayah selalu berkumpul bersama teman-temannya. Wajar saja, mungkin ayahnya merasa seperti bertemu saudara yang telah lama terpisah. Bertemu orang dengan bahasa dan budaya yang sama di luar negeri memang luar biasa.

Lama-kelamaan intensitas pertemuan ayah dan teman-temannya semakin meningkat. Diawali satu kali dalam seminggu, kemudian tiga kali seminggu, hingga pada akhirnya setiap malam ayah pasti keluar rumah untuk kegiatan itu. Entah apa namanya. Tapi pada saat itu, Bulan, Mentari, dan ibunya tidak menyadari apapun. Toh masih tidak mengganggu hal-hal lain yang harus dikerjakan.

****

Matahari yang selalu bersinar sepanjang hari akhirnya akan terbenam juga. Sinarnya yang terang akan menjadi hawa malam yang gelap gulita. Matahari tidak menyisakan apapun pada dunia, ia hanya mewariskan seberkas pantulan cahayanya untuk bulan agar dapat menggantikannya sejenak. Meskipun pada kenyataannya, bulan tidak mampu menyinari bumi sebagaimana yang dilakukan oleh matahari.

Seperti mahasiswa pada umumnya, Mentari juga sangat sibuk. Seringkali ia pulang lewat tengah malam. Entah itu karena belajar di perpustakaan kampus, atau sibuk di organisasi yang ia ikuti. Malam itu, Mentari kembali pulang larut malam. Berbeda dari malam-malam sebelumnya, malam itu terasa lebih dingin. Mentari berjalan pulang seperti biasanya. Nasib sial sedang mengintai Mentari di balik gelapnya dinding malam. Mentari terlambat mengejar bus terakhir yang beroperasi. “Sial, kenapa cepat sekali. Ya Tuhan, aku sungguh tidak sanggup berjalan kaki sampai ke rumah.” Mentari duduk di kursi bus stop dalam keadaan hampir menangis. “Mungkin aku tidur saja di sini sampai bus pertama datang besok pagi.” Gumam Mentari sambil memikirkan betapa konyol idenya.

Mentari menimbang-nimbang hal apa yang harus ia lakukan, Ia akhirnya memutuskan untuk pulang berjalan kaki saja. Bagaimanapun, tidur di bus stop sendirian bukanlah keputusan yang tepat. Ia sempat berpikir untuk memesan taksi saja, tapi sebagai mahasiswa, pulang dengan taksi hanya akan menghamburkan uang saja. Mentari mulai berjalan untuk pulang ke rumah.

Belum jauh ia berjalan sebuah mobil hitam berhenti tepat di sebelahnya. Kaca mobil itu diturunkan dan ada seorang laki-laki 30-an di dalam sana. “Kamu mau ke mana? Baru pulang dari kampus ya?” Tanya laki-laki itu. “Iya.” Jawab Mentari singkat. “Sepertinya arah kita sama, mau saya antar?” Tanya laki-laki itu. Mentari sempat ragu pada awalnya, tapi ia dapat melihat bahwa ada gurat ketulusan pada wajah dan mata laki-laki itu. Saat ia melihat ke dalam mobilnya, ada foto ia dengan anjing yang sepertinya adalah anjing peliharaannya. Mentari pikir laki-laki ini pasti penyayang binatang yang tidak mungkin akan menyakiti orang lain. Mentari akhirnya masuk ke dalam mobil laki-laki itu. “Firasatku tidak mungkin salah.” Kata Mentari dalam hatinya.

Naik ke dalam mobil itu adalah keputusan terburuk yang pernah Mentari buat. Intuisi Mentari memang buruk sekali. Ia tidak pernah bisa menebak sifat orang lain hanya dengan melihat wajahnya. Mentari hari ini terbenam, entah untuk terbit lagi atau terbenam selamanya. Ia dilecehkan oleh laki-laki yang memberikannya tumpangan. Ia menangis dan bingung harus melakukan apa. Ia malu sekaligus marah, entah yang mana yang lebih besar, rasa malunya atau amarahnya. Ia kembali berjalan pulang. “Keluargaku pasti akan mendukung, apapun yang terjadi.” Begitu pikir Mentari.

Ayahnya, ibunya, dan Bulan adiknya, ada di rumah malam ini. Mentari mengetuk pintu perlahan. Lampu rumahnya padam karena sudah lewat tengah malam. Ibunya yang membukakan pintu. Mentari jatuh terduduk saat pintu terbuka. “Ya Tuhan Mentari, kamu kenapa?” Teriak ibunya khawatir. Ayahnya kemudian keluar dan meihat keadaan Mentari yang berantakan. “Kamu kenapa Mentari?” Tanya ayahnya.

Mentari akhirnya menceritakan apa yang terjadi padanya. Ia bercerita dengan terpatah-patah, berkali-kali berhenti karena tidak sanggup mengatakan hal menjijikan yang ia alami. Ibunya juga ikut menangis, tidak menyangka anaknya akan melewati hal menakutkan, sendirian di malam hari yang gelap. Ayahnya duduk, menyimak dengan takzim. “Maaf ayah, ibu. Aku tidak bisa menjaga diriku sendiri.” Kata Mentari. Ibunya memeluk Mentari erat. “Jangan menangis, nak. Kamu tidak bersalah.” Mentari sedikit lebih tenang mendengar perkataan ibunya. Tapi tidak berlangsung lama, tanggapan ayahnya justru menjadi sebilah pisau yang menusuk tepat di jantungnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 05, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Bulan dan Binarnya Where stories live. Discover now