Ayah (3)

6 0 0
                                    

Liburan Bulan kali ini hanya diisi dengan bersantai sembari memikirkan hal-hal yang tidak ada habisnya. Baginya, tidak ada satu detikpun yang ia lewati tanpa berpikir sangat keras tentang hal-hal itu. Memang tidak pernah terpikirkan olehnya, kehidupannya akan begitu hampa dan mengerikan di saat yang bersamaan. “Tapi hidup hampa lebih menguntungkan dibandingkan dengan hidup mengerikan. Setiap hari hanya berbaring di kasur, makan jika lapar, tidur jika mengantuk. Sungguh menyenangkan.” Batin Bulan sembarangan.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Sahabatnya di sekolah meneleponnya. “Hallo Bulan. Assalamu’alaikum.” Sapa sahabatnya riang di seberang telepon. Namanya Jangmi yang artinya mawar. Seperti namanya, ia juga cantik seperti sekuntum bunga mawar. Jangmi adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengan Bulan. Bulan sempat berpikir Jangmi hanya memanfaatkannya. Bagaimana tidak, saat orang lain berjalan membelakangi Bulan, hanya Jangmi yang mau menggandeng tangannya dan berjalan beriringan. “Wa’alaikum. Ya, aku di sini.” Jawab Bulan. Bulan memanggil sahabatnya ini dengan sebutan ‘Blue Rose’. Sesuai dengan bunga favoritnya sekaligus cocok dengan perangai dan wajah sahabatnya yang indah seperti mawar biru.
“Bagaimana liburanmu?” Tanya Jangmi.
“Seperti biasa Rose. Tidak baik, tapi juga tidak buruk.”
“Kau selalu saja begini Bulan. Cerialah sedikit, sebentar saja lupakan masalahmu. Tidak pernah kulihat wajahmu berseri barang sedetik saja. Kau terlihat seperti singa yang tengah bersedih, menyeramkan sekaligus menyedihkan di saat yang bersamaan, hahaha.”
“Kau malah mengejekku Rose, hiburlah aku sedikit.”
“Hahaha, kalau gitu aku akan pergi ke rumahmu besok siang ya. Kita akan menghidupkan suasana rumah dan hatimu besok.”
“Datanglah Rose, aku rasanya sudah kehilangan kemampuan bicaraku akhir-akhir ini.”

Jangmi memang selalu berusaha menghibur Bulan dengan caranya sendiri. Sifat keduanya terlihat begitu kontras. Jangmi yang cantik dan selalu ceria, di sampingnya ada Bulan yang terlihat murung. Bukan tanpa alasan Bulan selalu berwajah murung. Terkadang suara-suara dari masa lalu selalu muncul tanpa aba-aba. Seperti beberapa hari yang lalu.

“Dasar anak tidak tahu diuntung. Perempuan murahan. Kenapa kamu harus hidup di dunia ini. Mati saja, pergi dari hadapanku. Melihat ujung kukumu saja membuatku rasanya ingin muntah.”

Makian itu berasal dari mulut ayah Bulan sendiri. Mentari adalah sasaran kemarahannya saat itu. Mentari hanya bisa menangis. Ayah yang dulunya menjadi cinta pertamanya, kini berubah menjadi patah hati pertamanya pula. Mentari yang selama ini memberikan cahayanya untuk Bulan agar dapat bersinar kini justru kehilangan cahaya yang dulu bersinar sangat terang. Bulan hanya bisa menangis mendengar makian ayahnya sendiri. Ia tengah menulis saat itu, pensil yang ia gunakan sampai patah karena ia tekan terlalu dalam.

Kejadian-kejadian seperti itu selalu saja terbayang di kepala Bulan. Hari saling bertaut menjadi tahun, tetap saja Bulan tidak pernah melupakannya. Bukan tidak pernah, tapi tidak bisa ia lupakan. Suara-suara itu mengganggu kehidupannya dan menghambat kebahagiaan. Saat Bulan mulai bisa tersenyum, tiba-tiba suara itu muncul dan menghapus senyum tipis Bulan. Bulan mulai lupa caranya tersenyum dan bahagia sejak saat itu.

Bulan dan Binarnya Where stories live. Discover now