Daun coklat yang berguguran di musim gugur,
terbang dibawa angin, pergi jauh meninggalkan dahan
ingin aku bawa segenggam dan kembalikan kepada pemiliknyaDoa yang sempat aku langitkan, sungguh datang ke langit atau hilangkah ia?
Aku menangis berharap mengangkat aku tinggi-tinggi
pergi dengan entah kalimat terakhir atau tidak
Sepertinya tak bisa mendengarku
barangkali bisikan terlalu keras sampai teriakan pun tidak terjamahBagaimana rasanya dicintai seseorang sedalam itu?
Tidakkah kau mau memberikanku sedikit?
Langsung atau dalam mimpi saja, terserah asal aku tahu rasanyaPuisi yang Mentari ciptakan di bulan Desember tahun 2014. Sungguh luar biasa dua kakak beradik ini. Bulan dan Mentari, sama-sama suka menulis puisi. Meski mereka berdua tidak pandai menulis sebenarnya. Mentari selalu menulis puisi tanpa memberikan judulnya, berkebalikan dengan Bulan yang memberikan judul terlebih dahulu baru menulis puisinya. Bulan selalu mengejek Mentari, "Kak, kakak ini bagaimana. Menulis puisi tapi tidak ada judulnya. Itu sama saja seperti manusia tanpa kepala, atau rumah tanpa atap. Sudahlah, kakak memang tidak berbakat menjadi penyair, hahaha." Ucap Bulan sambil tertawa keras. "Sebelum bicara coba lihat diri sendiri dulu. Setidaknya aku bisa memberi judul yang bagus setelah isinya selesai, daripada kamu yang memikirkan judul sampai berjam-jam, kemudian berhari-hari kebingungan menulis isinya." Serangan telak dari Mentari. Bulan yang merasa kalah akhirnya hanya bisa membalas kakaknya dengan satu cubitan di lengannya.
Berbeda dengan Bulan, Mentari sedikit lebih pendiam. Memilih berdiam diri di rumah dibandingkan pergi melihat-lihat dedaunan yang gugur di musim gugur, salju yang turun di musim dingin, atau bunga yang bermekaran di musim semi. Meskipun ia sendiri sangat menyukai musim semi. Menurutnya, melihat pepohonan di depan rumahnya yang menghijau, menghirup harum bunga yang bermekaran dari dalam rumahnya sudah lebih dari cukup. Ia tidak pernah mengeluh dan selalu berwajah teduh. Satu pertanyaan yang mulai muncul saat ia mulai mengerti seperti apa kehidupannya dan tidak pernah terjawab hingga ia pergi jauh, 'Bagaimana rasanya dicintai seseorang sedalam itu'. Melihat ibu dan ayahnya yang sangat menyayangi Bulan membuatnya sedikit cemburu pada awalnya. Tapi kecemburuan itu segera ia tepis setiap kali datang menghampiri kepalanya. "Wajar, adikku masih kecil. Pasti ibu dan ayah lebih menyukai dia." Batin Mentari setiap kali ia cemburu pada Bulan.
"Bulan, kau tahu tidak cahaya bulan di langit itu berasal dari mana?" Tanya Mentari pada Bulan saat itu. "Bulan tidak tahu, dan tidak ingin tahu juga." Balas Bulan.
"Asal kau tahu, bulan itu bercahaya karena memantulkan cahaya dari matahari."
"Lalu?"
"Kau Bulan dan aku Mentari. Artinya kau akan hidup kalau aku hidup dengan baik."
"Itukan bulan dan matahari. Bukan Bulan dan Mentari."
"Ya sama saja, kau harus memperlakukan aku dengan baik sepanjang hidupmu. Mengerti?"
Bulan kemudian mencubit lengan Mentari, dan Mentari hanya tertawa sambil mengaduh kesakitan. Dulu saat Mentari berbicara seperti itu, Bulan baru berusia 13 tahun. Ia tak begitu ambil pusing dengan cocoklogi tidak masuk akal yang diciptakan Mentari. Baru setahun kemudian, saat ia genap berusia 14 tahun, akhirnya Bulan menyadari bahwa yang dikatakan kakaknya bahkan tidak dapat ia sangkal barang satu kata pun. Ingin menyesal tapi apalah yang akan ia sesali.
YOU ARE READING
Bulan dan Binarnya
RandomCerita ini aku persembahkan untuk bulan dan binarnya, yang selalu memberikan ketenangan. Bulan yang selalu berusaha berbinar terang, meski kadang dihalangi berbagai hal. Bulan dan binarnya yang Tuhan izinkan untuk berjalan beriringan.