* * *
Malam beranjak saat Bulan membuka matanya setelah tidak sengaja tertidur seharian. Ia terbangun karena suara azan dari ponselnya yang berdering keras. Pukul 18:35. “Sungguh nyenyak sekali tidurku." Ucap Bulan sambil menutup mulutnya yang spontan menguap. Bulan melihat keluar jendela kamarnya. Salju masih turun dan tampak indah di luar sana. “Apakah aku bisa bermain salju di luar sana?” Bulan tersenyum saat menyadari banyak boneka salju yang dibuat oleh anak tetangganya.
Bulan bangun dan bergegas melaksanakan salat magrib. Sekilas ia melihat ke arah kamar ibunya yang terbuka sedikit. Seperti bayangan Bulan, ibunya juga tengah melaksanakan salat. Kejadian tadi siang kembali melintas di benak Bulan. Banyak pertanyaan yang muncul di kepala Bulan saat itu. Pertanyaan-pertanyaan lama maupun pertanyaan baru yang rasanya tidak memiliki jawaban. Dimulai dari pertanyaan mengapa ia harus dilahirkan ke dunia sampai pertanyaan kapan ayahnya akan pulang dan keluarganya kembali seperti dulu.
“Menjelang usia 20 tahun memang banyak pemikiran aneh kembali masuk ke otakku. Rasanya ingin ku buang jauh-jauh memori mengerikan yang pernah muncul ke hidupku. Kak, apa kakak tidak ingin menjemput ibu dan aku? Dadaku terasa sesak, terlebih ibu. Mungkin sebentar lagi kami akan mati terhimpit ketakutan. Aku sudah tidak berbinar lagi sekarang. Bagaimana bisa? Sumber cahayaku telah pergi jauh.”
Pintu kamar Bulan tiba-tiba dibuka dari luar. Ibunya masuk dan duduk di samping Bulan. “Bulan, maafkan ibu ya. Kamu pasti menderita atas semua hal yang terjadi di keluarga kita. Ibu mohon bertahan sedikit lagi ya.” Ibu Bulan berbicara dengan suara bergetar.
“Bu, apa tidak sebaiknya kita pulang ke Indonesia? Apa lagi yang kita harapkan di sini?” Ucap Bulan.
“Bagaimana mungkin kita akan meninggalkan ayah sendirian di sini, Bulan?”
“Ibu, ayah sama sekali tidak peduli akan keberadaan kita di sini." “Bagaimanapun kita tidak boleh meninggalkan ayah sendirian di sini, kita keluarga, kan?”Bulan hanya bisa menghela napas mendengar ucapan ibunya. Beribu kali sudah ia memberi usulan untuk pulang ke Indonesia atau sekadar pindah ke tempat yang tidak bisa didatangi ayahnya. Tapi, ibunya selalu menolak ide itu mentah-mentah.
Lima menit sebelum ibunya masuk ke kamar Bulan, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ternyata pemberitahuan mengenai perayaan kelulusan Bulan yang akan dilaksanakan di luar kota. Entahlah Bulan akan berpartisipasi atau tidak. Toh, ada dan tidaknya ia tidak ada pengaruhnya. “Ibu, tahukah ibu kenapa aku ingin pergi dari sini? Bukan hanya tentang ayah, tapi juga tentang aku dan kehidupanku di luar sana." Gumam Bulan diiringi suara girang orang-orang yang bermain salju di luar sana.
YOU ARE READING
Bulan dan Binarnya
RandomCerita ini aku persembahkan untuk bulan dan binarnya, yang selalu memberikan ketenangan. Bulan yang selalu berusaha berbinar terang, meski kadang dihalangi berbagai hal. Bulan dan binarnya yang Tuhan izinkan untuk berjalan beriringan.