8. there is no reason to say 'no'

49 35 21
                                    

"Buat tahun depan kamu mau kado apa?" Tanya Panji suatu ketika. Hari itu, dia sedang menemaniku berbelanja, sekaligus membeli beberapa keperluan untuk percobaan kue yang resepnya baru kudapat kemarin dari internet.

Panji tidak pernah mengeluh, yang ia lakukan adalah selalu mengalah tanpa lelah. Seolah, ia selalu sedang membuatku yakin bahwa cintanya begitu besar. Bahwa tak perlu ada ragu di antara kita.

"Kado? Maksud kamu kado ulang tahun?"

Ia mengusap helaian rambutku. "Iya dong, sayang. Tapi kalau kamu maunya kado pernikahan juga aku oke-oke aja!"

Aku tergelak. Ia menarik pelan hidungku. "Buat tahun depan... aku maunya dibuatin sketsa wajah sama kamu. Terus... kasih surprisenya malam-malam, biar sweet, terus aku juga mau kue ulang tahun dua tingkat yang kamu buat sendiri. Gimana bisa nggak?"

Panji tersenyum tulus, lalu mengangguk dengan yakin. "Itu doang permintaannya?"

"Memangnya kamu yakin bakalan sanggup penuhi semuanya?"

"Aku nggak punya alasan buat nggak sanggup."

Wajahku terus bersemu dibuatnya. Aku tersenyum malu-malu sembari tetap menatap maniknya yang sedari tidak menoleh ke arah yang lain sedetik pun. Panji, mengapa Tuhan menciptakan kamu sesempurna ini? Mungkin tidak bagi orang lain, tapi akan selalu sempurna bagiku, manusia yang terlampau tersesat di hatimu.

"Kalau mencintai kamu saja aku sanggup, berarti aku juga harus sanggup penuhi keinginan kamu!"

Aku terkekeh. "Sejak kapan kamu pandai beranalogi seperti itu?"

"Sejak aku tahu, kalau cinta itu nyata!"

Bullshit!!!

Aku mengerang tertahan dan meremas kuat figura persegi yang berisikan foto kebersamaanku dengan Panji. Aku menahan air mataku yang sudah berlomba hendak terjun. Mana buktinya jika cinta itu nyata, Panji? Bukankah sesuatu yang nyata itu bisa diraba? Lalu ke mana kamu sekarang, hingga bahkan tak bisa kulihat? Kamu bohonh, Panji! Setega itu kamu bohongi orang yang dulunya selalu kamu akui dengan penuh cinta.

Panji, apakah belum cukup setahun ini kamu menghilang? Ayo, kembali padaku Panji.

Tepat pukul dua belas malam, ketika tanggal dua puluh satu bergeser menjadi dua puluh dua, ponselku berdering ria, membuatku merogohnya dari saku piyamaku dan kumatikan deringnya.

"Selamat ulang tahun aku!" Aku tersenyum miris. Lantas, bangkit dan kembali masuk ke dalam apartemenku setelah satu jam lebih merenung sembari melihat foto Panji. Merenung di rooftop apartemen, berharap Panji datang di malam ulang tahunku ini dan memenuhi janjinya. Tidak perlu membawakan semua keinginanku, karena yang aku mau hanya dia. Bukan lainnya. Tapi... semuanya justru hanya sebatas harapan. Tidak akan mungkin menjadi kenyataan.

"Surprise!!" Sebuah pekikan memecahkan gendang telingaku tepat setelah aku membuka pintu apartemenku. Aku berbalik, mendapati Farrel dan... pacarnya di ambang pintu apartemenku.

"Selamat ulang tahun, Nona!" Ujar Farrel sembari menyodoriku sebuah kue ulang tahun dua tingkat seperti... kue yang pernah kuminta pada Panji. Tidak, tidak, Farrel tidak mungkin tahu jika aku pernah meminta Panji membawakanku kue seperti ini di malam ulang tahunku kan?

"Kok malah bengong, jadi kita nggak dibolehin masuk nih?" Suara Rea menghancurkan lamunanku.

Dengan segera aku mengangguk. "Iya, ayo masuk!"

Kami duduk di ruang tamu. Jujur, sekarang kecanggungan mengelabui udara di antara kami. Sampai akhirnya... "Na... kamu nggak suka kita kasih kejutan?" Suara Farrel yang memecahkan hening yang sempat tercipta.

GHOSTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang