12. kekalahan dan permintaan

16 9 4
                                    

Seminggu penuh berlalu. Seminggu itu pula, aku melewatinya dengan rasa mual dan ingin memuntahkan seluruh isi perutku setiap pagi. Bukan karena masuk angin. Apa lagi karena hamil muda. Bukan sama sekali.

Tapi, karena seminggu kemarin adalah minggu ujian tengah semester. Belum lagi tugas tambahan yang harus dikumpulkan pada hari yang sama dengan jadwal UTS masing-masing mata kuliah. Benar-benar pemicu angka kematian dini. Huh, beruntung aku tidak terpicu untuk mengikuti tren bunuh diri yang katanya bisa diandalkan untuk menyelesaikan masalah hidup.

Sebuah telepon membuat ponselku bergetar ketika aku berhambur keluar dari kelas beriringan dengan puluhan mahasiswa lainnya. Beriringan dengan itu juga senyumanku terbit seketika. "Halo, pasti kangen kan sama aku?!"

"Seyakin itu kamu kalau aku telepon cuma karena kangen?" Manusia bernama Farrel yang sekarang sedang menjadi lawan bicaraku memang tidak mengenal kata mengalah. Bahkan sekarang setelah kami terikat sebuah hubungan bernama pacaran pun ia tetap dengan argumennya sendiri jika kami terlibat adu mulut tanpa mau mengalah. Begitu meresahkan.

"Ya kalau bukan kangen apa lagi coba, mau tagih utang gitu?" Aku duduk di bangku panjang di koridor fakultas.

"Ya buat bilang kalau aku punya dua tiket konser!" Serunya terdengar begitu girang.

"Wah, bagus dong! Kamu bisa dua kali nonton!"

Farrel mendengus. "Kamu kebanyakan baca meme atau memang nggak pernah jadi anak pramuka sih?"

Aku tergelak. "Apa hubungannya sama pramuka coba?!"

"Nggak ngerti kode!"

"Kode? Sandi pramuka kali bukan kode!"

Farrel mendegus lagi. "Udah ah, aku habisin pulsa bukan mau bahas itu, jadi nanti malam aku tunggu jam 8 di depan pintu apartemen."

"Ini ajakan atau paksaan?"

"Lebih ke keharusan sih sebenarnya!" Jawab Farrel setelah sempat bergumam sebentar.

"Keharusan? Maksudnya gimana?"

"Ya seorang pacar kan memang harus menemani pacarnya, harus memenuhi permintaannya. Iya kan?" Sahut Farrel santai.

Aku tertawa pelan. "Ya sudah, iya, sampai ketemu jam 8 malam nanti!"

"Iya sampai ketemu!"

Setelahnya, aku memutuskan sambungan telepon kami. Tapi, begitu aku bangkit dan hendak berdiri untuk kembali melangkah, sebuah suara membuatku harus mengurung niatku dalam-dalam. "Buru-buru amat tutup telepon, mau ke mana sih memangnya?"

Bisa ditebak. Itu suara Farrel. Tidak salah. Dan tidak mungkin salah. Aku berbalik dan mendapatinya berdiri persis di belakangku, dengan kejauhan sekitar empat sampai lima meter saja.

Ia terkekeh dan mendekat begitu aku melongo karena mendapatinya di sini. "Kenapa? Kayak lihat setan aja!"

"Kok bisa kamu di sini?"

Farrel menepuk dadanya dengan bangga. "Jelas dong! Apa coba yang Farrel Adhitama nggak bisa lakukan?"

Aku tersenyum miring. "Kamu nggak bisa mikir," ucapku sembari menoel kepalanya dengan pelan. "Seharusnya kalau kamu lagi di sini kan bisa ngomong langsung. Nggak perlu teleponan. Kamu gimana sih?!"

Ia menggaruk kepala dan terkekeh. "Sayang juga kan?"

"Sayang apanya?"

"Kuota teleponnya!"

Ia tergelak sendiri dengan lelucon yang kutanggapi dengan wajah datar. Tidak lucu sama sekali. Tapi, ia justru terlihat begitu menikmatinya.

"Udah, ayo pergi!" Setelahnya, ia menggiringku menuju kantin fakultas masih lengkap dengan tawa renyahnya yang terdengar memekakkan telinga. Ada yang ngerti dengan sikapnya?

GHOSTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang