End

9.5K 796 201
                                    

Chenle terbangun, merasakan sebuah tangan besar melingkar di tubuhnya. Objek pertama yang ia lihat hari ini adalah sebuah dada bidang dengan beberapa tanda kemerahan milik sang kekasih. Pipinya bersemu mengingat penyatuan keduanya semalam.

Jemari lentik Chenle perlahan bergerak, mengusap pipi dan rahang Jisung dengan lembut, takut membangunkan pemuda itu. Hingga ia rasakan pelukan di punggungnya mengerat.

"Kamu terbangun?" cicit Chenle, merasa tidak enak.

"Tidak, aku sudah bangun sejak tadi, mungkin sudah satu jam yang lalu," gumam Jisung. Morning voice-nya terdengar begitu lirih, rendah, dan berat. Jantung Chenle benar-benar langsung berdebar.

"Kenapa tidak membangunkan ku?"

Chenle merasakan sesuatu menekan kepalanya. Jisung meletakkan dagunya di puncak kepalanya. "Kamu tidur begitu nyenyak, pasti lelah. Lagi pula aku suka memelukmu seperti ini."

Lagi-lagi hatinya menghangat.

"Oh iya, dari tadi ponselmu bunyi."

Mendengar penuturan singkat kekasihnya, Chenle segera bergerak, melepaskan pelukan Jisung. Ia meringis saat merasakan nyeri di area selatannya.

Diambilnya ponsel pintar miliknya, empat puluh panggilan dan tiga puluh pesan masuk. Ia menekan kontak milih Haechan, menghubungi kembali nomor pemuda Lee itu.

"Zhong Chenle, kenapa kode pintu nya diubah?"

Ia menjauhkan ponsel dari telinga saat disambut oleh teriakan Haechan.

"052212, masuklah, Kak. Aku baru bangun tidur."

Setelahnya, panggilan diputus sepihak oleh Chenle.

"Membiarkan Kak Haechan masuk saat kita sedang seperti ini?" tanya Jisung.

Chenle terdiam, benar juga. Keduanya masih polos tanpa busana, rumah  khususnya kamarnya masih sangat berantakan, tubuhnya lengket.

Ia menyibak selimut dan segera turun dari tempat tidur. Baru dua langkah, Chenle jatuh berlutut, tangannya mencengkeram tepian tempat tidur erat. Sakit, miliknya benar-benar sangat sakit untuk bergerak.

"Kunci pintunya, Jisung!" titah Chenle. Ia kesal karena pacarnya itu hanya memandangnya bingung tanpa melakukan apa pun.

Setelah memastikan pintu kamat terkunci, Jisung segera mendekati Chenle.

"Sakit?" tanya Jisung, mengecup dahi Chenle lembut.

"Hmm," gumam Chenle. Ia mengalungkan tangan di leher Jisung saat pemuda itu mengangkat tubuhnya.

"Tapi enak?"

Chenle menyembunyikan wajah memerahnya di ceruk leher kekasihnya itu. Sialan, sejak kapan anak itu bisa sefrontal ini.

"Mau lagi?" tawar Jisung sembari menurunkan tubuh Chenle di kamar mandi yang sukses mendapat tatapan tajam dar pemuda manis itu.

"Bisa di kamar mandi, kok." Jisung meringis saat Chenle menginjak kakinya.

"Kalau kamu lupa, Kak Haechan sekarang ada di dalam rumahku."

Selanjutkan kedua pemuda yang tengah dimabuk asmara itu segera membersihkan diri.

****
Chenle berdecak kesal, ia berdiri di depan cermin, mendangi tubuh indahnya yang kini penuh dengan tanda kemerahan, leher, dada, perut, bahkan hingga pahanya tidak luput dari jamahan Jisung.

"Aku bilang jangan memberikan tanda di leher, kenapa kamu melakukan itu, Park Jisung."

Jisung mengangkat bahu, " Kamu enak, aku tidak tahan untuk tidak memakannya."

Chenle beedecak sebal. "Sampai ke kaki ku?"

"Kulitmu yang terlalu pucat dan sensitif. Aku hanya menyentuhnya."

"Menyentuh apaan sampai begini," protes Chenle.

"Cepat pakai bajumu, Kak Haechan pasti sudah menguras dapurmu," titah Jisung.

Chenle menurut. Ia memakai hoodienya, menggunakan tudungnya agar lehernya tertutup.

*****

"DARI MANA SAJA KALIAN?"

Itu teriakan Haechan saat Chenle dan Jisung duduk di sebelah pemuda itu.

"Chenle, kenapa memakai jaket di dalam rumah?"

"Dingin," jawab Chenle.

"Padahal pemanas di rumah mu ini hidup."

"Tetap saja dingin, mungkin aku akan demam," jawab Chenle lagi. Ia harap Haechan tidak bertanya macam-macam.

"Terserah lah," Haechan berdiri dari duduknya, berjalan menuju kamar Chenle.

Melihat hal itu, Chenle segera menyusul pemuda itu, mengabaikan sensasi nyeri di area selatannya.

"Mau ke mana?" tanya Chenle, ia berdiri di hadapan Haechan, membelakangi pintu kamarnya.

"Aku butuh lotion, berdiri di luar selama satu jam membuat kulitku kering."

"Biar aku ambilkan saja, duduklah," titah Chenle.

"Lebih baik kamu yang duduk dan sarapan. Kamu bilang seperti akan demam. Lagian aku tau di mana tempatnya," balas Haechan.

"Aku baru saja mengatur ulang kamarku, duduklah, aku akan ambilkan." Chenle mendorong tubuh Haechan, memberi kode agar pemuda itu menjauh.

Setelahnya, Chenle membuka sedikit pintu kamarnya dan menyusup masuk ke dalam sana. Tempat tidur yang berantakan, pakaian yang tergeletak begitu saja di lantai dan bau cairan keduanya tercium dengan jelas. Bisa habis riwayatnya kalau Haechan sampai masuk.

Ia segera mengambil lotion, kemudian bergegas keluar.

"Kalian mabuk semalam?" tanya Haechan sementraa tangannya sibuk mengoleskan lotion ke kulitnya.

"Aku melihat wine di balkon," sambungnya.

"Hanya sedikit," jawab Jisung.

"Kamu keramas?" tanya Haechan, ia baru menyadari kalau rambut si bungsu—tidak rambut kedua adiknya itu basah.

"Jisung muntah tadi pagi, mengenaiku. Makanya mau tidak mau kami harus mandi," jelas Chenle.

"Kalian mabuk berat sampai muntah? Apa saja yang kalian lakukan semalam?"

"Kami hanya minum, lalu mabuk dan tidur," jelas Chenle. "Kenapa Kak Haechan masih di sini, ini sudah jam 10."

"Aku diusir?"

"Bukannya hari ini ada jadwal dengan 127?" ucap Jisung.

Haechan melihat ponselnya. "Hampir terlambat."

Ia berdiri, merapikan pakaiannya. "Oh iya, Chenle, kompres pakai es batu, bibirmu bengkak. Dan lepaskan saja itu, suhu di sini 28° kamu mau merebus dirimu sendiri? Jisung sepertinya bekerja terlalu keras ya semalam."

Haechan memberikan satu kedipan, menggoda kedua pemuda yang kini merona, malu.

THE 6940th DAY ✅ (JICHEN / CHENJI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang