Berbagai sumpah serapah sedari tadi telah terucap dalam hatiku. Akibat ulah iseng Nana yang menggangguku, aku malah berakhir berdiri di tengah lapangan menghadap sang mentari yang sangat sangat tidak bersahabat.
"Nath—
"Diam! Jangan ajak aku bicara" potongku cepat
Entah kenapa, aku daritadi tidak ingin menatap Nana. Sejak bisikannya tadi saat kami terpaksa keluar dari kelas, aku tidak punya keberanian untuk itu. Bahkan untuk mendengarnya berbicara, aku tak ingin.
Hatiku terlalu kacau untuk saat ini
"Ih kok gitu?!" balas Nana melihat responku dengan tanda tanya, "Marah ya?"
"Gatau" balasku masih tidak ingin menatapnya. Biarkanlah sang mentari menyinariku sampai gosong asal aku tidak menatap makhluk yang telah membuat hatiku tak karuan.
Alih-alih melontarkan pertanyaan, Nana malah mengulurkan kedua tangannya untuk memegang kedua bahuku, dan seketika membalik badanku hingga berhadapan dengannya.
Aku kaget tentu saja. Nafasku bahkan sampai tertahan tatkala wajah Nana yang sangat sangat dekat kudapati begitu berbalik. Seperti yang kalian tebak, Nana sedikit menunduk untuk mensejajarkan wajahnya denganku.
Dapat kulihat beberapa bulir keringat yang menghiasi pahatan di wajahnya itu, namun anehnya tidak mengurangi sedikitpun kadar ketampanannya.
Jika aku mengatakan itu di depannya kutebak dia tingkat kepercayaan dirinya akan semakin meningkat
"Jawab aku," adalah kata pertamanya yang semakin membuat napasku tertahan. "Kamu marah?"
Aku malah menggeleng kaku, "Engga"
"Bohong" terkanya
"Aku gak marah"
"Oh kamu sebel kan? Sebel karena dihukum iya?" tanyanya, aku malah diam.
"Oh! Aku tahu! Kamu salting ya gara-gara aku nembak, iya?" wajahnya seketika berubah menjadi lebih menjengkelkan
Aku malah mendorong wajahnya itu dengan tanganku, "Apasih ngaco!"
Nana malah tertawa sampai memegang perutnya dengan kedua tangan, "Hahahahaha, sumpah ya Nath, kamu lucu banget kalau salting gituu hahahahaha"
"Ck, aneh" aku berdecak seraya memalingkan wajah, menyembunyikan semburat kemerahan yang tiba-tiba muncul di kedua pipiku
Tanpa memalingkan pandangan, kudengar Nana menyelesaikan tawanya setelah itu menarik napas panjang. Lantas setelahnya, tubuhku seketika dibawa masuk ke dekapannya.
Singkatnya, Nana memelukku. Dengan erat.
Selain pertanyaan mengapa somay Mang Yuta sangat lezat yang selalu terputar di otakku, aku juga selalu mempertanyakan mengapa Nana tetap wangi meski dirinya dipenuhi keringat?
Sumpah ya, Nana memiliki wangi khas tersendiri yang entah sampai sekarang selalu menjadi canduku. Keringatnya saja tetap wangi. Entah kebaikan apa yang telah dilakukannya hingga Tuhan membuat tubuhnya menjadi wangi sepanjang zaman.
Meski tubuhnya diterjang angin pun, wanginya akan awet pikirku.
"Ngapain?" tanyaku tanpa membalas pelukannya
"Kamu kepanasan, makanya aku peluk" katanya
"Ga perlu pakai peluk juga kali"
"Biar romantis"
Aku mendengus pelan, "Udah sana jauh-jauh. Keringatmu banyak banget ih" ujarku seraya mendorongnya untuk menjauh
Nana menunduk memperhatikan kemeja sekolahnya yang lumayan basah, lalu kemudian tangannya beralih membuka satu-persatu kancing kemeja itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
goresan pena, jaemin.
Fanfictiontentang lelaki dan kisahnya dalam sebuah goresan pena merah muda. -ft. na jaemin, nct.