BAB 1

22.1K 711 32
                                    

Terkadang sebuah pertemuan terjadi tanpa kamu duga. Mungkin kamu tidak menyukainya. Tapi itu bisa jadi karena kamu belum mengenalnya.

🐰

10 TAHUN SEBELUMNYA ....

"Ya ampun, sayang. Kamu kenapa?" tanya Lidya Pratama. Wanita yang berumur kisaran empat puluh tahun itu tampak cemas melihat darah yang mengalir di betis putranya ketika dia membuka pintu. Seragam putih abu-abu putranya sudah berantakan. Seluruh kancingnya terbuka, menampakkan kaos hitam polos. Sementara celana abu-abunya, tepatnya di kaki bagian kanan, tergulung hingga sebatas lutut.

"Ma... Alex nggak pa-pa," ringis remaja laki-laki itu, tapi mata Lidya langsung beralih pada gadis cantik berkucir satu di sebelah Alex yang juga menggenakan seragam putih abu-abu, tengah membantu agar putranya bisa berdiri tegak. "Megi..."

Megi sekilas melirik kesal pada Alex yang seketika mengendarkan pandangan ke arah lain. "Alex tadi sok kebut-kebutan pas sepedaan sama Megi, Tante," jawab gadis itu kemudian.

"Kalau gitu sekarang kita ke Rumah Sakit. Mama nggak mau kamu kena infeksi atau semacamnya," ujar Lidya cepat dan panik kepada Alex, membuat Alex langsung mengerang frustrasi.

"Ma... Alex udah bilang, Alex nggak pa-pa," kata Alex, tapi sang Ibu malah berlalu darinya, tampak terburu-buru. Dari dulu Ibunya selalu bersikap berlebihan jika dia terluka. Kebiasaan itu mulai ada sejak dia masuk sekolah dasar. Atau lebih tepatnya, sejak kecelakaan pesawat yang menewaskan Ayahnya, Adryan Pratama—yang saat itu merupakan seorang pilot.

"Ma!" seru Alex lagi. Dia tahu bahwa Ibunya takut kehilangannya. Tapi luka yang dia alami bukanlah hal yang akan membahayakan nyawanya. Namun, semua sia-sia. Ibunya terlalu keras kepala seperti dirinya. Karena tak lama kemudian dia telah dibawa ke Rumah Sakit. Tidak lupa juga bersama pacarnya, Megi.

*

"Makanya, Natt tuh jangan nakal!" Emi Hadinata, gadis bertubuh mungil dan masih berseragam putih biru itu menasehati sahabat sekaligus cowok yang disukainya sejak SD.

Tapi cowok yang terbaring di ranjang rumah sakit itu malah tertawa karena Emi yang duduk di kursi—tepat di sampingnya sangat cerewet seperti Ibundanya. Padahal umur mereka masih empat belas tahun. Cowok itu bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa jika Emi tumbuh dewasa nanti? Gendang telinganya mungkin akan pecah jika terus-terusan mendengar seluruh omelan gadis itu.

"Iya-iya, Natt nggak nakal lagi."

"Janji ya?" Emi menyodorkan kelingkingnya, membuat Natt yang melihatnya tersenyum geli sebelum kemudian balas menautkan kelingkingnya.

"Gitu dong. Emi juga udah bawain catatan buat Natt, biar nggak ketinggalan pelajaran." Lalu, Emi sudah sibuk pada tas ransel merah mudanya, mengeluarkan buku bersampul coklat dan menaruhnya di nakas dekat vas bunga.

"Makasih ya. Emi rajin banget!"

Emi lantas memamerkan senyum pada Natt, pada saat itu juga Natt menyentil dahi Emi. Seketika gadis itu mengaduh sebelum kemudian memprotes, "Natt kebiasaan deh!" Tapi Natt hanya tertawa lagi.

"Ketawa aja terus! Suka ya liat Emi kesakitan," cibir Emi sambil mengusap keningnya.

"Ya udah sini, Natt liat." Natt baru saja akan duduk dan menyingkirkan poni yang menutupi dahi Emi, tapi kegiatan itu terhenti karena pintu ruangan terbuka dan memunculkan sosok Ibundanya. Alhasil Natt langsung menurunkan tangannya yang terinfus dan kembali berbaring.

"Emi masih di sini?" tanya Revita selaku Ibunda Natt.

"Iya, Tante."

"Ini udah sore lho, sayang. Emang Papa Mama Emi nggak nyariin?" Revita kemudian menghampiri Emi dan mengusap puncak kepala Emi. Sesekali melirik kepada putranya yang berdeham canggung. "Katanya Emi juga, pas ke sini tadi cuma di antar supir kan?"

Accidental MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang