"Ketegaran datangkan kekuatan."
-Anara Ditya
Happy Reading🍃
.
.
.
.
.
"Dasar anak tidak tahu diri! Dari sore sampai malam belajar terus. Apa manfaatnya belajar? Hah?"Aku yang masih duduk di bangku meja belajar pun hanya menundukkan kepala. Hanya bisa bersabar setelah Ayah marah seperti ini.
"Sampai lupa makan pula. Lihat adikmu! Ia bisa mengatur waktu. Meski banyak sekali tugas dari sekolah, ia tetap membagi waktunya untuk keluarga. Berbeda denganmu!" Bentakan Ayah kembali menggema di kamarku ini.
Aku mulai berdiri menuju tempat tidur tanpa berniat sedikit pun melihat ke arah ambang pintu, di mana Ayah sedang berdiri di sana. Aku langsung menyelimuti tubuh ini dengan selimut tebal yang aku punya, berharap kantuk datang menyapa. Namun, perkiraanku salah. Sudah lama aku biasakan tidur larut, jadi kantuk tidak datang jika hari tidak terlalu malam.
Brak!
Pintu kamarku Ayah tutup dengan perasaan emosi. Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang tanpa berniat mengganggu dan melawan emosi Ayah.
"Ada apa, Ayah?" tanya Ibu yang bisa aku dengar dari dalam sini.
"Anak yang satu enggak bisa diandalkan sebagai kakak. Dia lebih memilih pelajarannya dari pada keluarga," tegas Ayah.
"Sudah Ayah, sudah! Mungkin, Nara sedang ada masalah. Masa Ayah enggak tahu masa muda? Sudah malam, kasihan Naranya jangan diganggu, biarkan dia tidur! Besok Ibu akan bicara sama dia," ucap Ibu dengan suaranya yang mengenangkan.
"Seburuk itukah aku di mata, Ayah? Akan aku buktikan seberapa berharganya belajar," ucapku dalam hati.
***
Tok! Tok! Tok!"Nara bangun! Sudah pagi," teriak Ibu dari balik pintu.
Aku membuka mata perlahan, menyibakkan selimut dan pergi mandi, serta menjalankan kewajiban sebagai umat beragama. Setelah berpakaian rapi, aku langsung menggendong tas dan pergi ke ruang makan. Di sana, sudah ada Ayah, Ibu, dan Tara-adikku.
"Pagi Nara, ini sarapannya." Ibu meletakkan dua lapis roti tawar di atas piring di hadapanku.
Lima gigitan roti sudah masuk ke dalam perutku, mungkin sudah cukup sampai sore nanti. Aku beranjak dari kursi dan mencium tangan Ibu.
"Assalamualaikum, Bu."
"Waalaikumsalam, belajar yang rajin, ya Ra!" pesan Ibu setelah aku mencium tangannya. "Ini uang jajan kamu!" lanjut Ibu sambil memberikan dua lembar uang dua puluh ribu dan satu lembar sepuluh ribu.
Aku berjalan ke arah kursi Ayah. Di mana sudah terlihat raut wajah Ayah yang kurang mendukung setiap harinya. Cuek, kesal, dan marah. Semua raut itu selalu ia tunjukkan setiap detik padaku. Aku mengulurkan tangan berniat ingin mencium tangannya sama halnya pada Ibu. Namun, sudah lama aku ulurkan, tangan ini tidak juga diraih. Kepalan tanganku tepat di depan mata Ayah yang perlahan aku turunkan kembali ke samping pinggang.
"Nara pergi sekolah dulu, Bu," pamitku sebelum benar-benar pergi dari rumah.
"Sebentar Nara! Tunggu adikmu dulu beres sarapan, biar bareng ke sekolah naik motor," teriak Ibu.
"Sudahlah! Biarkan dia berjalan kaki. Sekolah juga tidak jauh-jauh sangat," balas Ayah yang masih terdengar olehku.
Aku mengembuskan napas panjang. "Terserah Ayah sajalah!" lirihku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia di Atas Angan
Ficção AdolescenteKehidupan Nero memang biasa saja. Meski orang tuanya bergelimang harta, tetapi ayahnya tidak pernah memberikan sedikit pun apa yang ia punya untuk anaknya, kecuali Tara. Tara adalah adik Nero, kesayangan ayahnya. Ibunya selalu memberikan tawaran apa...