2. Baby Step

141 27 84
                                        

Dua hari berlalu, dan selama itu pula Tiffany menimbang apakah ia melanjutkan misinya atau berhenti saja? Yah, ia tak menampik bahwa salah satu faktor yang mendukungnya adalah hadiah yang Andreas berikan. Ayolah, gadis itu tak mau munafik dengan tawaran yang ada. Tiffany jelas tergiur bahkan sempat berangan jauh kala ia bisa memenangkan permainan ini. Bahkan dirinya memikirkan berbagai daftar apa yang akan ia lakukan ketika mendapatkannya nanti.

Namun realitasnya sungguh pahit. Menjangkau seorang Diyo bukanlah hal yang mudah. Ia memang sempat berpikir bahwa misinya dapat dilakukan, namun nama Diyo dibaliknya membuat segalanya menjadi rumit.

"Senderan mulu kayak cakwe gak laku lo, kenapa sih?" Tiffany melirik ke arah Gigi yang menatapnya malas. Area perpustakaan yang tak terlalu ramai itu menjadi saksi bagaimana mereka berdua memikirkan hal yang sama, misinya.

"Gue mikir-mikir bisa jadi kaya mendadak kalo bisa menangin game ini tapi bisa jadi tekanan batin juga abis itu!" Gigi yang mendengarnya tak ingin menimpali. Gadis itu juga sebenarnya gusar sama seperti Tiffany, bahkan mungkin lebih darinya. Gigi selanjutnya mendengus, kepalanya menelungkup ke arah meja dan hampir terantuk kayu pembatas. Mereka berdua tengah duduk di bilik baca, memikirkan nasib permainan yang sayang sekali dilewatkan namun agaknya tak memungkinkan juga untuk dilakukan.

"Gue juga sih. Ya sebenernya gue mau aja nyelesein misinya, tapi ya gak mau juga. Ih gimana sih, pokoknya ini tuh gue antara mau dan gak mau gitu loh. Tapi tapiiii gak gampang juga target gue! Hih bisa gila gue lama-lama!" Tiffany mengernyit mendengar hal itu. Entahlah, kalimat yang terlontar dari Gigi benar-benar tak masuk ke otaknya.

"Kalo nyerah tuh sayang banget gitu loh. Tapi ya gak gini juga misinya!" Gigi melanjutkan kegusarannya dengan agak kesal. Gadis itu bahkan sampai bangun dan memukul meja dengan spontan, membuahkan lirikan tajam dari pengunjung lain. Tiffany sebenarnya sangat penasaran apa misi yang Gigi dapatkan hingga membuatnya seperti ini, namun agaknya gadis itu tak akan semudah itu membeberkan padanya.

"Gi, misi lo apaan sih? Kayaknya frustrated banget dah lo sama ginian doang." Tiffany menunggu jawaban gadis itu, berharap pertanyaannya mendapat hasil namun helaan napas dan kepala yang kembali ia telungkupkan pada meja serta merta membuat Tiffany berdecak.

"Misi gue tuh mempertaruhkan kepala gue, Tiff! Ah bisa sinting kayaknya gue karena beginian doang!" Gadis itu mengacak rambutnya berantakan sebagai pelampiasan kekesalan, membuat Tiffany hanya menggeleng karena Gigi membuatnya sulit dipahami. Ia lantas mengangkat bahu, tak ingin peduli lagi dengan apa yang terjadi pada gadis itu.

"Apa gue jebak aja ya dia? Tapi dia anaknya lurus banget! Terus, kalo nanti gue ketahuan gimana coba? Sia-sia tiga tahun gue!" Gigi melanjutkan aksinya dengan bermonolog. Tiffany hanya mengernyit dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia tak tahu dan tak mengerti apa yang Gigi maksudkan. Kalimatnya tak memiliki konteks hingga sulit memahaminya.

"By the way, misi lo apaan Tiff?" Gigi mendapati kawannya itu menatapnya malas. Mata gadis itu bahkan memutar sempurna seolah pertanyaan dari Gigi begitu menyebalkan.

"Mendaki gunung Himalaya!"

✿✿

Area perpustakaan umum itu jauh lebih ramai dibanding perpustakaan fakultas tempat ia dan Gigi tadi berbincang. Sosok Tiffany meneliti sekitar dengan pandangan elang, menajamkan penglihatannya untuk mencari orang yang ia incar. Dari rak satu ke rak lainnya. Hingga dari ujung sampai ujung pun ia telusuri dan maniknya tak menangkap apa yang ia cari. Gadis itu mendesah, biasanya sosok seperti Diyo begitu gemar menjadi penghuni perpustakaan.

Tiffany lalu beranjak menuju bilik baca yang sebagian besarnya terisi, meneliti satu persatu meja yang ada namun nihil. Targetnya kali ini tak dapat ia temui di sana. Gadis itu berdecak kesal, kalau begini caranya ia bisa kehilangan kesempatan memenangkan hadiah dari Andreas!

M A N I T OTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang