Paradox 02

373 45 33
                                    


"Aku pu—"

Jun terdiam karena tidak ada yang menyambutnya pulang. Biasanya si bungsu akan berlari menghampiri secepat mungkin dan meminta barang titipannya layaknya preman. Tapi sekarang lorong depan rumahnya terlihat sepi. Hanya terdengar suara televisi dari ruang tengah. Volume yang nyaring menambah kecurigaannya.

Jun pun melangkah perlahan menuju ruang tengah. Di sana — di depan televisi — kedua adik dan sang Mama sedang menonton dengan posisi membelakangi Jun. Kebetulan, yang sedang mereka tonton adalah tayangan berita.

"Aku pulang."

Ucapan Jun mengejutkan ketiganya yang seketika itu juga menoleh ke belakang.

Dejun berdiri dengan cepat, melewati kakaknya dan menghilang di balik kamar.

Sedang Renjun melangkah menghampirinya dengan penuh selidik. "Abang gapapa?"

"Kenapa emang?"

"Tuh tadi ada berita orang meninggal di pinggir jalan deket minimarket yang Abang pergiin."

"Abang beneran gapapa?" Kali ini giliran Mama yang bertanya.

"Gapapa," ucap Jun, berusaha menenangkan wanita paruh baya tersebut. Tatapannya kembali tertuju ke televisi. Memang benar saat ini salah satu stasiun televisi swasta sedang menayangkan berita mengenai peristiwa naas yang hampir saja merenggut nyawanya itu.

Suara sirene ambulance kembali berdenging di telinganya. Semua terjadi begitu cepat. Andai saja Renjun tidak merengek ingin meminta chocopie, mungkin namanya yang akan tertulis di layar televisi sebagai korban meninggal.

Ah, omong-omong soal chocopie...

"Njun."

"Hm?"

"Nih." Jun menyerahkan kotak chocopie kepada si bungsu.

"Udala buat abang aja. Njun udah ga pengen." Lalu adiknya itu melengos pergi begitu saja ke kamarnya. Meninggalkan sang kakak yang melongo tak habis pikir.

Sialan, pikir Jun. Tapi berhubung Renjun adalah adiknya sendiri, ia tidak bisa memaki ataupun mengumpat karena secara tidak langsung dirinya lolos dari maut juga berkat Renjun.

Ah, tengkuknya merinding setiap mengingat kejadian tadi.


*

  

"Itungannya udah dua kali lho Jun, lo lolos dari maut." Jihoon berkomentar saat dirinya tengah mabar menggunakan ponselnya di markas MJH. Lain cerita dengan Jun yang juga tengah mabar menggunakan komputer.

"Ah, mosok?" celetuk Vernon yang juga tengah asyik mabar.

"Ingat kan yang di gedung tua lo hampir jatuh dari tangga?" ungkap Jihoon.

Jun berpikir sejenak dan mengakuinya dalam hati.

"Mungkin udah saatnya lo buang sial ke orang pinter..."

"ANJIR?!" Vernon mengumpat. Entah karena mengalami kekalahan atau karena usulan Jihoon.

"Atau perlu ke dukun sekalian."

"Ga usah ngadi-ngadi, woy!" sela Vernon.

Dan pintu ruangan mereka menjeblak terbuka. Dino menatap abangnya satu per satu dengan tatapan curiga. "Gofutnya udah nyampe." Remaja yang baru sembuh dari demamnya itu pun melengos pergi setelah menyampaikan pesan. Entah dia menguping atau tidak, pembicaraan tadi pun berakhir tanpa keputusan yang jelas.

Rupanya Jun berniat merekam konten review makanan salah satu restoran cepat saji. Oleh karena itu ia memesan makanan via aplikasi online.

"Eh, anuu, maaf..."

WonHui LAND l #WonHuiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang