Happy reading ❤
Jam istirahat memang paling enak kalau harus nongkrong di kantin ditemani semangkuk bakso atau mie ayam. Apalagi di sebelah mangkuk bakso ada teh manis dingin atau jus mangga. Surga dunia sekali tentunya bagi perut-perut yang meronta kelaparan dan butuh asupan energi. Di pojok kantin, empat orang cowok kelaparan sedang melahap menu pesanan mereka sambil membahas suatu topik yang mereka anggap penting.
“Lo gak makan baksonya, Ben?”
Ben bahkan belum menjawab, Ivan sudah menusuk bakso berukuran besar yang bertengger manja di mangkuk Ben.
“Lo aneh tau nggak Ben,” gumam Ivan sambil menunyah bakso hasil rampasannya.
“Aneh kenapa?”
“Lo gak suka bakso tapi tiap hari pesen mi bakso. Aneh banget ya nggak, Gy?”
Ogy mengangguk lalu meraih es jeruk di hadapannya. Dia kebanyakan menuang sambel ke sotonya sehingga bibir cowok yang tak tahan pedas tapi suka cabai itu sudah tak sanup menahan panasnya efek yang ditinggalkan sambel.
“Lo juga aneh, Gy,” gumam Ivan sambil menyerahkan air mineralnya karena meski air jeruk Ogy sudah tandas, dia masih tampak sangat kepedasan.
“Kenapa?” tanya Ogy garang.
“Udah tau gak tahan pedes masih aja nuang sambel seliter.”
“Namanya gue suka.”
Ivan benar tentang keanehan kedua cowok itu. Harry Leonard Ben, manusia blasteran yang punya mata coklat, hidung mancung, tinggi semampai, dan rambut ikal kecoklatan. Suka sekali memesan mi ayam bakso padahal dia sama sekali tidak suka yang namanya bakso. Yogy Surya Pradipta. Pemilik hidung bangir, kulit sawo matang, dan punya gingsul sebagai pemanisnya. Pencinta sambel padahal tidak tahan pedas.
“Eh Rav, gebetan lo masuk tuh,” bisik Ben pada Aarav yang sejak tadi fokus menikmati nasi gorengnya.
Wajah Aarav langsung memerah. Orang yang baru saja ditunjuk Ben dengan dagunya adalah Rena. Cewek kelas sebelas IPA 2. Aarav sudah lama naksir Rena, jika diingat-ingat mungkin sejak MOS. Saat itu mereka berada dalam kelompok yang sama. Rena sosok yang misterius. Dia tidak punya teman. Kemana-mana selalu saja sendiri. Pendiam sudah pasti. Kalau bel pulang sudah berbunyi wujudnya pasti sudah tidak kelihatan lagi di sekolah.
“Rav, lirik bentar dong, ntar keburu ngilang.” Ben menyikut lengan Aarav yang sok jual mahal.
Aarav mengikuti saran Ben. Meski sebenarnya hatinya sudah sejak tadi memaksa untuk menoleh tapi ada gengsi yang masih dia junjung. Seperti hari-hari sebelumnya, wajah Rena yang pucat tertutup poni yang menjuntai. Langkahnya terburu-buru menuju etalase kantin. Mengambil satu roti dan sebotol air mineral, tanpa basa-basi pada siapapun dia langsung membayar kemudian menghilang dari kantin.
“Lo aneh, Rav,” ujar Ivan setelah Aarav kembali menyantap nasi gorengnya.
“Aneh kenapa?” tanya Aarav.
“Suka sama cewek aneh.”
Untuk pertama kalinya, Ogy sependapat dengan Ivan karena dia langgsung semangt mengangguk. “Bener. Si Rena emang rada aneh gitu. Tapi tahun ini dia masuk tim olimpiade Kimia gantiin si Rima.”
Ben tampak heran. “Berarti pinter dong dia?”
“Emang dia pinter, tapi pendiem,” bela Aarav.
“Cocok banget dong sama lo,” celutuk Ivan di sela-sela kesibukannya memancing es batu di gelasnya.
“Tapi tetep aja aneh. Udah mirip kunti. Baru muncul beberapa menit ehh tiba-tiba udah ngilang,” celoteh Ogy.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNSTOPABLE LOVE
Teen FictionBukan kisah preman sekolah. Tidak mengandung cerita anak genk motor. Hanya sebuah kisah klasik dimana benci dan cinta hanya dipisahkan oleh sebuah garis tipis.