3. Bawang Putih dan Selendang Merah

180 66 38
                                    

Bawang Putih yang malang, dibutakan rasa iri terhadap kakaknya. Membalik fakta seakan Bawang Merah adalah sosok antagonis. Nyatanya, baik tidaknya seseorang tergantung dari siapa dia diceritakan.

 Nyatanya, baik tidaknya seseorang tergantung dari siapa dia diceritakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekolah dibubarkan setelah beberapa jam kami menjadi tawanan. Reputasi SMA nomor wahid se-Kalimantan Timur terancam, sebagaimana rambut palsu kepala sekolah kami setelah serentetan wawancara melelahkan. Berita meninggalnya salah satu murid pencetak kejuaraan bola basket SMA itu dengan cepat menyebar. Keluarga berbelasungkawa, doa bersama digelar, dan imbauan-imbauan menyembul dari sana-sini.

Tadinya aku hampir berencana tidur siang dengan nyenyak di atas kasur empuk dan angin sepoi-sepoi dari jendela kamar yang hangat. Wacana itu nyaris hancur setelah Illxa menarikku dan Nusa ke kelas dari ruang BK. Di tengah kebingungan teman-teman sekelas, tidak ada yang sadar salah satu penyusup dari kelas IPS berhasil duduk di kursi paling belakang dan bicara serius dengan dua manusia mabuk teka-teki.

Satu paragraf singkat tentang legenda Bawang Merah dan Bawang Putih itu sukses membuat kami memutar otak; apa maksudnya cerita itu. Dalam cerita asli bawang-bawangan, protagonis diceritakan sebagai Bawang Putih yang baik hati dan dermawan, direndahkan oleh saudari dan ibu tirinya. Semua anak Indonesia seharusnya tahu cerita itu. Bicara soal Bawang Putih, aku jadi teringat ikon utama aplikasi Clade.

"Terus kita disuruh apa?" Pertanyaan Nusa mewakili kami semua.

Dalam versi Clade, Bawang Putih menjadi antagonis. Oke. Pesan yang mau disampaikan, bahwa baik buruknya seseorang tergantung siapa yang menceritakan. Oke. Lantas kami harus apa? Clade adalah game AR yang membuat kita harus bertarung dengan avatar lain untuk mendapatkan kartu dan karakter lain.

Beberapa menit merenung, menghela napas panjang, pikiran kami tetap buntu untuk quest kali ini. "Atau kita skip aja quest-nya?"

Aku mengangguk. Itu ide yang bagus ketimbang kami membuang-buang waktu mencari jawaban tak tentu. "Ganti ke mode normal aja kalo gitu."

Kami tampak seperti kepiting di sudut ruangan sementara teman sekelas yang lain seperti segerombol sarden riuh tak keruan di tengah kelas. Suasana itu tak bertahan lama setelah pemberitahuan pulang cepat dan belajar di rumah hari ini. Selagi yang lain sibuk mengemasi barang-barang dan bersyukur bisa pulang lebih cepat, kami masih berkutat dengan ponsel.

Nusa orang pertama yang menyalurkan keluhannya, "Nggak mau diubah jadi mode normal. Ini nge-bug apa gimana?"

Illxa mengamini di sebelahku. "Punyaku juga nggak bisa." Dia mengusap dagu, bergaya sedang berpikir. "Atau gara-gara pake token yang kau kasih tadi, Nus, makanya bisa main mode quest doang."

"Sembarangan! Aku dapet token itu dari sepupuku di sini juga. Dia main oke-oke aja, tuh?"

"Berapa lama tenggat waktu quest pertama ini?" tanyaku setelah menyerah mencoba log out akun dan selalu berakhir gagal. Terlalu dini untuk mengalami bug di dalam game yang baru rilis kembali.

HISTRIONICSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang