8. Pangeran Berkuda

167 52 43
                                    

Kamis itu rasanya amat tentram, sekaligus ketentraman yang membuatku berburuk sangka bahwa hal jelek akan terjadi di kemudian hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamis itu rasanya amat tentram, sekaligus ketentraman yang membuatku berburuk sangka bahwa hal jelek akan terjadi di kemudian hari. Pasalnya, dua hari beruntun pembunuhan terjadi, dan kemarin sama sekali tidak ada berita tentang hal seperti itu. Jumat datang dengan cepat dan besok sudah akhir pekan. Tugas datang dan pergi seperti kentut.

"Nanti malem kerja kelompok di rumah Alam, jadi nggak?" Geby memulai pagi dengan menjadi alarm kelompok kimia kami.

Aku cuma mengangkat jempol. Malam ini tidak ada acara apa-apa, jadi harusnya aku baik-baik saja kalau harus pergi sampai jam sebelas malam. Illxa di belakangku juga ikut mengangkat ibu jari sambil mengedus-endus rambutku.

"Kalo beneran jadi, ntar malem kusiapin meja depan," Alam berkomentar sebagai tuan rumah. Anak itu baru datang, mungkin kembali dari kantin atau koperasi karena tangannya menggenggam botol kemasan air mineral.

Dengan mudah kami mencapai kesepakatan. Untungnya, meski tidak terlalu dekat denganku, Illxa, dan Alam, Geby mudah beradaptasi. Waktu sudah ditentukan, dan semua sudah setuju. Masalahnya, ada pada menit-menit terakhir bel pulang sekolah berbunyi. Padahal aku sudah niat pulang cepat di hari Jumat dan melemaskan pinggang di kamarku, tetapi sosok berhoodie hitam dengan sopannya mengacaukan rencanaku yang sempurna.

Illxa menarik tanganku sebelum langkah ini mencapai gerbang depan di bawah matahari yang masih tinggi. "Ikut aku bentar."

"Ogah! Aku mau istirahat, ntar abis magrib ke rumah Alam lagi." Aku berusaha melepas cekalannya, tetapi genggaman anak itu jauh lebih kuat dari pada tenagaku.

"Dipanggil Nusa, Er. Bentar doang. Aku juga nggak tau anak itu mau ngasih tau apa."

Kubaca raut mukanya cepat. Tidak ada senyum jahil di wajahnya. Anak itu mungkin saja serius. "Kenapa Nusa nggak bilang langsung?" Pada akhirnya aku memutuskan mengekori Illxa, memutar langkah dari gerbang depan menuju area parkir sekolah.

Illxa berjalan lebih dulu di depanku sehingga aku tak dapat melihat raut wajahnya saat anak itu bicara. "Mana kutau. Tapi biar cepet selesai, mungkin dia mikir kita sekelas, jadi aku otomatis bisa ngasih tau dirimu."

Kami baru saja hendak berbelok saat Nusa tiba dengan napas terengah dari arah lain. "Nah, ketemu juga!" Sebelah tangannya memperbaiki posisi kacamata yang hampir merosot di hidungnya saat dia menumpukan tubuh pada kedua lutut. "Malem ini kalian rencana mau ke mana?"

Aku dan Illxa spontan saling bertukar pandang. "Kerja kelompok kimia, di rumahnya Alam. Kenapa?"

Nusa berusaha mengatur napasnya sambil menegakkan tubuh. "Sejak keluar dari kantor polisi, rasanya instingku bilang buat kita jauh-jauh dari game itu." Jadi ini masalah permainan itu. "Ayo kita berhenti main aja."

HISTRIONICSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang