7. Ruang Pribadi

149 50 71
                                    

Nusa terkejut saat kubilang aku akan ikut ke rumah Cassey

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nusa terkejut saat kubilang aku akan ikut ke rumah Cassey. Dia melongo tak percaya pada awalnya, kemudian tersenyum simpul seakan bangga padaku. "Nanti berangkatnya sama aku, ya."

Orang-orang berkumpul di gerbang samping, menunggu yang lain tiba untuk berangkat bersama. Tidak seperti bayanganku, cacian serta tatapan menjengkelkan itu tidak keluar. Semua orang sibuk dengan dirinya masing-masing, mencari temannya yang belum datang dan menelpon beberapa nomor.

Setelah Nusa, Sera dan Nora adalah orang selanjutnya yang terkejut diriku mau ikut dalam acara seperti ini. Yah, semua karena terpaksa. Kalau bukan karena Illxa, mungkin aku sudah mendekam di kamarku yang dingin sambil membaca novel.

Kami berangkat lima belas menit kemudian. Aku pergi bersama Nusa dalam rombongan dengan motornya. Rumah Cassey tidak begitu jauh ternyata. Di pesisir pantai, memasuki gang-gang sempit dengan rumah panggung yang tiangnya sudah dilumuti. Kupikir, rumahnya benar-benar berhadapan dengan laut, atau bahkan mengambang di atasnya. Namun, setelah masuk lebih dalam, kami menemukan kompleks yang lebih terstruktur dan bersih ketimbang pesisir yang dipenuhi sampah. Ternyata kami memilih jalan pintas yang lebih cepat dari pada melewati jalan raya.

Beberapa motor sudah terparkir di halaman rumah bernuansa putih emas dua lantai. Tampak elegan bahkan saat kami dipersilakan masuk ke ruang tamu. Orang tua Cassey menyambut kami secara langsung. Ibunya menggenggam tisu sambil menyalami kami satu-satu. Gerakannya berhenti saat berada di hadapanku.

"Ersa, ya?" Air matanya mengalir lagi, cepat-cepat dihapusnya. "Tante banyak dengar tentang kamu waktu SMP. Maafkan anak tante, ya." Kedua tangannya menggenggam tangan kananku erat-erat. Kini air matanya mengalir tanpa ada yang mengusap. Wanita itu mengucap kata maaf beribu-ribu kali sampai rasanya lutut wanita itu bisa jatuh kapan saja.

Buru-buru kusangga sikunya sebelum dia jatuh. "Iya, Tante. Ersa juga sudah lupa, kok." Bohong. Mana bisa kulupakan ingatan jahat itu. Anakmu dua-duanya memang biadab. Dadaku berdebar, merasa diperhatikan banyak orang dalam kondisi seperti ini. "Tante, nggak papa." Pada akhirnya, aku terpaksa merengkuh pundaknya yang bergetar.

Wanita itu menggeleng. "Tante nggak tahu harus apa untuk menebus kesalahan anak tante sama kamu." Napasnya sesenggukan, terlihat jelas penyesalan dalam dirinya.

"Sudah lewat, Tante. Nggak papa." Sekali lagi, kuusap punggungnya berusaha menenangkan.

Beberapa orang memandangku ikut kasihan. Tidak ada lagi pandangan merendahkanku, atau menghina seperti tahun-tahun sebelumnya. Pemandangan itu lenyap seiring berjalannya waktu.

Ibu Cassey mengusap air matanya, kemudian mengucap maaf sekali lagi sambil memelukku. "Kalau ada, apapun itu yang bisa Tante bantu, Ersa tinggal bilang."

HISTRIONICSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang