~ Haihai, maapkeun author yang masih labil buat nglanjutin cerita ini yah. Aku belum bisa update cerita secara teratur. Tapi janji bakal nyelesaiin cerita ini pelan-pelan. Kadang mood dan inspirasiku ngga bisa berjalan beriringan. Kayak aku sama dia, hehe canda. Kali ini aku kasih judul kopi dan hati, lengkapanyaa let’s go! Mari kita come on buat baca bagian tujuh. Tinggalkan juga vote dan commentmu, sebagai jejakmu di ceritaku. Thank you.~
***
“OMG, cool banget. Sempurna” gumam Mba Vina yang masih belum mengalihkan pandangannya dari Mas Khrisna. Tiba-tiba aku tersedak. Sial, kenapa hal seperti ini terjadi. Namun, ini berhasil membuat Mba Vina berbalik arah dan mendekatiku.
“Kenapa, Ra?” tanyanya.
“Ngga tau mba, tiba-tiba tersedak ini. Mba Vina bisa gantiin aku sebentar? Aku mau mengambil botol minum dulu di tenda, gimana?” jelasku sambil balik bertanya.
“Yaudah sana, kebetulan aku juga pengen bikin sesuatu di sini untuk meramaikan suasana. Tunggu aja yaa, pasti seru banget. Sana ke tenda, kasihan kamu butuh minum kan?”
“Iya mba, makasih yaa”.
Aku meninggalkan sekretariat panitia, menuju tenda untuk mengambil botol minum di ransel. Dalam hati aku bergumam, kira-kira hal apalagi yang akan dilakukan oleh Mba Vina. Tapi, aku belum bisa mengira-ngira bahkan ketika aku sudah masuk ke dalam tenda. Bagian pintu depan tenda terbuka. Dan kulihat Mas Khrisna melambaikan tangan ke arah sini sambil mengisyaratkan padaku untuk datang padanya.
Sambil minum, aku juga membalas isyarat untuk menunggu, layaknya tukang parkir saat menghentikan arus lalu lintas untuk membantu sebuah mobil yang sedang meninggalkan tempat parkirnya dan melanjutkan perjalanan. Ku tengok kanan kiri, aman pikirku. Aku langsung menuju ke tempat Mas Khrisna duduk. Rupanya ia sedang menikmati segelas kopi.
“Ra, kamu suka kopi kan? Sini ngopi bareng, masih sisa beberapa sachet nih. Aku bikinin yah?” Tanyanya mencecar.
“Iya” jawabku singkat sambil berusaha menutupi senyum simpul di bibir. Aku hanya bisa memandangi tangan luwesnya saat membuat kopi. Mirip seperti barista di kafe bintang lima.
Pantas saja Mba Vina bilang bahwa dia lelaki sempurna. Sisi lainnya juga menakjubkan. Aku sangat setuju dengan pernyataan Mba Vina.
Uh, dia mendekat. Aku bergegas duduk dengan berusaha bersikap natural. Lalu, kuterima segelas kopi dari tangannya.“Sluuurpp. Mantap, ini baru enak” komentarku setelah tegukan pertama.
“Dasar cewek unik. Kenapa harus kamu sih, Ra?” balasnya.
“Hah? Apanya yang kenapa? Eh, gimana gimana?” Tanyaku kepo.
“Ngga jadi, ah. Kamu rese kalo lagi kepo. Ngomomg-ngomong aku lapar, Ra. Mau bikin ramen tapi kamu jangan minta ya. Itu special buat aku aja, titik”.
“Iya deh, iyaaa. Dapet kopinya orang kaya aja aku udah seneng kok. Makasih ya kopinya, aku suka. Pasti harganya mahal ini.” ucapku sambil kembali menikmati kopi. Aku terkagum untuk kesekian kalinya, ketika ia membuat ramen. Bagaimana tangan-tangannya bekerja, juga ekspresinya dalam menikmati apa yang sedang dia lakukan.
Sampai-sampai, aku terlupa dengan segelas kopi yang kupegang. Sepertiga kopi yang masih tersisa, menumpahi syal yang kupakai. Ceroboh sekali. Sebuat kesalahan cukup fatal, apalagi saat berada di dekat si doi. Malunya bertubbi-tubi.
“Yahhh” ucapku reflek. Segera kututup mulutku, berharap Mas Khrisna tidak mendengar ucapanku barusan. Namun, tangannya sudah meraih syalku ketika aku masih tertunduk. Kemudian ia melepas ikatan syal dari leherku. Aku membisu, tidak berani untuk menatapnya sementara waktu. Bahkan, untuk bergerak saja aku ragu.
“Gapapa ya syalnya aku lepas, sebelum mengenai seragammu juga.” ucapnya setelah itu. Aku hanya mengangguk.
“Hey, Dara Pandita. Kau kenapa? Butuh Aqua?” ledeknya.
“Mungkin” jawabku singkat. Kukira ia akan menceramahiku macam-macam, nyatanya respon yang diberikan cukup elegan. Ia mengajakku untuk melupakan kejadian barusan. Lanjut menikmati ramen sambil menyaksikan matahari terbenam.
“Beneran nih? Gamau bagi-bagi ramennya, pelit amat” sindirku.
“Kan udah kubilang dari awal, kalau ramen ini tuh special buat Khrisna seorang. Kamu bikin mi gelas aja yah?”
“Ngga usah, mas. Lagian aku cuma bercanda kok. Bentar lagi adzan maghrib, aku juga mau siap-siap mengambil wudhu.”
“Okedeh, aku ngabisin ramen dulu yah. Sayang kalo ngga dihabisin, enak parahh soalnya”.
“Serah deh, jangan lupa minum tapi. Takutnya ketularan tersedak kaya aku tadi” balasku.
“Kamu mah kebanyakan tingkah, Ra. Dikit-dikit tersedak, ketumpahan kopi, terus besok hal konyol apalagi?”“Ledek aja terosss. Awas sekali-kali giliran Mas Khrisna yang kena sial. Aku pastikan akan ketawain balik sekeras-kerasnya” jawabku sambil menggerutu. Aku cukup sensitif dengan ledekan terakhirnya.
Bukannya ingin marah atau bagaimana, aku juga kesal dengan diri sendiri yang masih seceroboh ini. Kejadian seperti ini, memang sudah sering terjadi dan sulit untukku memegang kendali.
“Maaf-maaf. Tapi, kamu tambah cantik deh kalau lagi ngambek. Serius” timpalnya.
Yaa Tuhan, godaan apalagi ini. Aku harus bagaimana menanggapinya. Jujur aku berbunga-bunga.“Tuh kan, apalagi senyum. Ngga kuaaaat”. Kali ini dia sambil menutup matanya. Jadi, aku tak perlu menutupi lagi senyuman ini. Engga, aku ngga bisa di sini terus. Nanti bisa-bisa nambah meleleh.
Akhirnya, kuputuskan untuk pamitan ke Mas Khrisna dan kembali ke sekretariat panitia terlebih dahulu. Sebelum aku pergi, ia menarik tanganku.
“Bentar, Ra. Ada yang kurang.” Ia lalu melepas ikatan syal di lehernya lalu memberikannya padaku.
“Bisa pakai sendiri, kan?” tanyanya sambil menatapku dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Sudah Tertakar tidak akan Tertukar
Teen FictionDara adalah gadis dengan kisah hidup yang penuh kejutan. Sikap ngeyel dan ingin tahu, berhasil membawanya terbang sekaligus jatuh rebah hingga ke tanah di saat yang hampir bersamaan. Banyak pelajaran yang ia dapat untuk kemudian dibagi dalam bentuk...